Senin, 04 Agustus 2014

KONTRADIKSI DI PUNCAK AMBANG



Sebuah laporan perjalanan ke gunung Ambang, Bongkudai Bolaang Mongodow
oleh Iswan Sual

Spekulasi. Ya itulah kami. Kami sudah mendapat informasi bahwa gunung Ambang untuk sementara waktu tertutup untuk pendakian bagi kelompok pencinta alam. Namun, entah roh apa yang merasuk kami sehingga tak peduli untung-rugi pada hari Minggu 27 Juli 2014 kami bersikukuh meluncur dengan dua sepeda motor ke desa Bongkudai Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur untuk mendaki gunung berapi yang bernama Ambang. Kantor Sangadi (kepada desa) yang terletak di sebelah kanan dari arah Modoinding, Minahasa Selatan menjadi tujuan awal kami. Kantor itu berdiri tepat di berhadapan dengan GPdI. Begitu kami turun dari sepeda motor seorang ibu pemilik warung kecil dekat situ langsung berujar bahwa sang kepala kampung sedang tak berada di tempat.
“Adoh mo kamana ngoni?”
“Mo nae Ambang tanta.”
“Ya….Sangadi nyanda ada. Mar, dia kwa cuma ja pesan, kalu nae ja bae-bae. Tu api, iko ja kase mati kalu mo turung.”
Percakapan dengan ibu pemilik warung itu sangat informatif. Dan merupakan kabar baik. Sudah logistik dipenuhi kami langsung memarkir sepeda motor dengan benar dan merenggut carrier lalu perlahan melangkah kea rah yang ditunjuk si ibu. Katanya kami mesti berjalan ke kiri dan jangan pernah mengambil arah kanan. Tak lama kemudian kami bertemu rombongan ibu-ibu yang sangat gamblang baru pulang dari pertemuan ibadah. Kata-kata dengan nada tinggi sempat keluar diperuntukkan kepada kami. Mereka mengkhawatirkan keselamatan kami.
“Hati-hati di sana neh. Jang ja lempar tu kawah. Soalnya sekarang dua siaga.”
Aku nyaris meledak karna menahan tawa. Barangkali yang dimaksudkan ibu itu adalah status gunung Ambang adalah siaga dua. Bukan dua siaga. Hampir sepanjang jalan kalimat keliru itu kami jadikan sebagai bahan guyonan. Bukan untuk meremehkan pesan ibu. Bukan juga untuk menghina tingkat pendidikannya. Tapi hanya sebagai pengusir lelah saat menapaki jalanan. Di simpang tiga kami belok ke kanan. Lalu berjalan lagi kurang lebih 100 meter. Di ujung pemukiman terdapat satu gubuk. Ada disitu tumpukan karung berisi pupuk. Disitu kami belok kiri. Anak-anak remaja lelaki yang tengah berbuat sepak bola sempat berteriak kecil untuk memperingatkan kami kami bahwa bahaya untuk melakukan pendakian. Kami hanya membalas dengan senyuman.
Semakin kami masuk ke perkebunan sayur yang elok dan teratur itu, rintik hujan semakin keras dan semakin banyak menabrak wajah. Kami berhenti dan memasang cover bag. Di belakang kami garis lengkung berwarna membentang dari langit hingga danau Moat. Seolah rintik dan pelangi itu sebuah sambutan untuk kami yang baru pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Jedah kami tidaklah lama. Kami meneruskan perjalanan hingga memasuki hutan. Rintik berubahnya menjadi hujan deras setelahnya. Tapi, kami tetap semangat. Mungkin aku yang paling berat bawaannya. Namun itu tak menghalangi ambisi untuk segera tiba di lokasi pendirian tenda.
Kurang lebih kami menempuh 100 meter jalan yang menanjak di hutan. Sudah itu jalanan berubah menjadi datar. Tak lama kemudian, perjalanan telah memakan waktu satu jam, kami menemukan persimpangan di area dimana kami sudah bisa melihat kepulan asap kawah. Kami pun mencurigai jalan yang berbelok ke kiri adalah jalan menuju base camp. Jufri Mogogibung dan Yanli Sengkey aku minta mengeceknya. Ternyata benar. Disitulah basecamp I. Di situ terdapat sumber air panas yang mengalir. Yanli yang paling gembira ketika menemukan area itu. Awalnya dia mencoba mengelabui kami dengan menginformasikan bahwa di area itu ada beberapa gadis yang sementara berkemah. Aku jadi penasaran bercampur kurang percaya.
Tak butuh waktu lama untuk mendirikan tenda. Selain tanahnya datar, juga bersih dari rerumputan. Rasa senang dan bangga karena telah mampu merapat ke puncak membuat kami saling mencandai satu dengan yang lain. Secara bergantian kami pergi ke sumber air panas untuk membersihkan diri. Teman lainnya pergi untuk menimbah air untuk memasak nasi. Dan yang mengherankan adalah air panas itu masih kami rebus untuk diminum. Suatu kebodohan barangkali. Atau bisa juga suatu kearifan. Kami merasa air panas karna alami itu masih perlu direbus demi kesehatan kami. Begitu malam kian senyap dingin menusuk pun hinggap. Sungguh sebuah kontradiksi berada di tempat itu. Areanya terlampau dingin namun di dekat situ terdapat sumber air panas.
Malam itu pun terlewati sembari badan menggigil dan gigi gemeletuk. Esoknya kami mencari puncak. Hanya butuh 10 menit hingga tiba di area kawah gunung berapi Ambang. Indah tapi menakutkan. Menantang tapi membahayakan. Bukan hanya karena jurang yang curam tapi juga karena asap vulkanik, dan bunyi gemuruh yang menyemprot keluar perut bumi. Bunyi itu menyerupai lolongan serigala di tengah hutan. Mencekam! Tapi Jufri bukanlah orang yang mudah takut dengan kondisi itu. Dia menyusuri punggung unta gunung Ambang. Dia bahkan turun dan bergaul rapat dengan semburan-semburan gas dan minyak panas di lokasi kawah. Serasa tak puas hatinya bila tak menyusuri tiap lekukan dan menyaksikan tiap letupan kecil Ambang.
Kami menghabiskan dua malam di basecamp. Dua malam itu menjadi malam yang menempelkan kesan dan ingatan yang tak terhapuskan. Kami turun gunung pada hari Selasa 29 Juli 2014. Cuaca begitu cerah hari itu. Beban berat di punggung terasa ringan. Bahkan kami turun sembari berlari. Sapaan para tukan kebun menambah nikmat penjelajahan kami. Danau Moat sekali lagi memperlihatkan wajahnya yang tengah senyum lebar. Decak kagum terus mengikuti sepanjang perjalanan pulang: Bongkudai, Modoinding, Tompaso Baru, Ranoiapo, Motoling dan Tondei. Kami sempat mampi di sebuah pasar swalayan di Tompaso baru. Disitu kami menimati kopi, teh dan nasi ayam goreng yang gurih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar