Sebuah laporan perjalanan ke gunung
Ambang, Bongkudai Bolaang Mongodow
oleh Iswan Sual
Spekulasi. Ya itulah
kami. Kami sudah mendapat informasi bahwa gunung Ambang untuk sementara waktu
tertutup untuk pendakian bagi kelompok pencinta alam. Namun, entah roh apa yang
merasuk kami sehingga tak peduli untung-rugi pada hari Minggu 27 Juli 2014 kami
bersikukuh meluncur dengan dua sepeda motor ke desa Bongkudai Utara, Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur untuk mendaki gunung berapi yang bernama Ambang. Kantor
Sangadi (kepada desa) yang terletak di sebelah kanan dari arah Modoinding,
Minahasa Selatan menjadi tujuan awal kami. Kantor itu berdiri tepat di
berhadapan dengan GPdI. Begitu kami turun dari sepeda motor seorang ibu pemilik
warung kecil dekat situ langsung berujar bahwa sang kepala kampung sedang tak
berada di tempat.
“Adoh mo kamana
ngoni?”
“Mo nae Ambang
tanta.”
“Ya….Sangadi
nyanda ada. Mar, dia kwa cuma ja pesan, kalu nae ja bae-bae. Tu api, iko ja
kase mati kalu mo turung.”
Percakapan dengan
ibu pemilik warung itu sangat informatif. Dan merupakan kabar baik. Sudah logistik
dipenuhi kami langsung memarkir sepeda motor dengan benar dan merenggut carrier lalu perlahan melangkah kea rah yang
ditunjuk si ibu. Katanya kami mesti berjalan ke kiri dan jangan pernah
mengambil arah kanan. Tak lama kemudian kami bertemu rombongan ibu-ibu yang
sangat gamblang baru pulang dari pertemuan ibadah. Kata-kata dengan nada tinggi
sempat keluar diperuntukkan kepada kami. Mereka mengkhawatirkan keselamatan
kami.
“Hati-hati di
sana neh. Jang ja lempar tu kawah. Soalnya sekarang dua siaga.”
Aku nyaris
meledak karna menahan tawa. Barangkali yang dimaksudkan ibu itu adalah status
gunung Ambang adalah siaga dua. Bukan dua siaga. Hampir sepanjang jalan kalimat
keliru itu kami jadikan sebagai bahan guyonan. Bukan untuk meremehkan pesan
ibu. Bukan juga untuk menghina tingkat pendidikannya. Tapi hanya sebagai
pengusir lelah saat menapaki jalanan. Di simpang tiga kami belok ke kanan. Lalu
berjalan lagi kurang lebih 100 meter. Di ujung pemukiman terdapat satu gubuk. Ada
disitu tumpukan karung berisi pupuk. Disitu kami belok kiri. Anak-anak remaja
lelaki yang tengah berbuat sepak bola sempat berteriak kecil untuk
memperingatkan kami kami bahwa bahaya untuk melakukan pendakian. Kami hanya
membalas dengan senyuman.
Semakin kami
masuk ke perkebunan sayur yang elok dan teratur itu, rintik hujan semakin keras
dan semakin banyak menabrak wajah. Kami berhenti dan memasang cover bag. Di belakang kami garis
lengkung berwarna membentang dari langit hingga danau Moat. Seolah rintik dan
pelangi itu sebuah sambutan untuk kami yang baru pertama kali menjejakkan kaki
di wilayah itu. Jedah kami tidaklah lama. Kami meneruskan perjalanan hingga
memasuki hutan. Rintik berubahnya menjadi hujan deras setelahnya. Tapi, kami
tetap semangat. Mungkin aku yang paling berat bawaannya. Namun itu tak
menghalangi ambisi untuk segera tiba di lokasi pendirian tenda.
Kurang lebih
kami menempuh 100 meter jalan yang menanjak di hutan. Sudah itu jalanan berubah
menjadi datar. Tak lama kemudian, perjalanan telah memakan waktu satu jam, kami
menemukan persimpangan di area dimana kami sudah bisa melihat kepulan asap
kawah. Kami pun mencurigai jalan yang berbelok ke kiri adalah jalan menuju base
camp. Jufri Mogogibung dan Yanli Sengkey aku minta mengeceknya. Ternyata benar.
Disitulah basecamp I. Di situ terdapat
sumber air panas yang mengalir. Yanli yang paling gembira ketika menemukan area
itu. Awalnya dia mencoba mengelabui kami dengan menginformasikan bahwa di area
itu ada beberapa gadis yang sementara berkemah. Aku jadi penasaran bercampur
kurang percaya.
Tak butuh waktu
lama untuk mendirikan tenda. Selain tanahnya datar, juga bersih dari
rerumputan. Rasa senang dan bangga karena telah mampu merapat ke puncak membuat
kami saling mencandai satu dengan yang lain. Secara bergantian kami pergi ke
sumber air panas untuk membersihkan diri. Teman lainnya pergi untuk menimbah
air untuk memasak nasi. Dan yang mengherankan adalah air panas itu masih kami
rebus untuk diminum. Suatu kebodohan barangkali. Atau bisa juga suatu kearifan.
Kami merasa air panas karna alami itu masih perlu direbus demi kesehatan kami. Begitu
malam kian senyap dingin menusuk pun hinggap. Sungguh sebuah kontradiksi berada
di tempat itu. Areanya terlampau dingin namun di dekat situ terdapat sumber air
panas.
Malam itu pun
terlewati sembari badan menggigil dan gigi gemeletuk. Esoknya kami mencari
puncak. Hanya butuh 10 menit hingga tiba di area kawah gunung berapi Ambang. Indah
tapi menakutkan. Menantang tapi membahayakan. Bukan hanya karena jurang yang
curam tapi juga karena asap vulkanik, dan bunyi gemuruh yang menyemprot keluar
perut bumi. Bunyi itu menyerupai lolongan serigala di tengah hutan. Mencekam! Tapi
Jufri bukanlah orang yang mudah takut dengan kondisi itu. Dia menyusuri
punggung unta gunung Ambang. Dia bahkan turun dan bergaul rapat dengan
semburan-semburan gas dan minyak panas di lokasi kawah. Serasa tak puas hatinya
bila tak menyusuri tiap lekukan dan menyaksikan tiap letupan kecil Ambang.
Kami menghabiskan
dua malam di basecamp. Dua malam itu
menjadi malam yang menempelkan kesan dan ingatan yang tak terhapuskan. Kami turun
gunung pada hari Selasa 29 Juli 2014. Cuaca begitu cerah hari itu. Beban berat
di punggung terasa ringan. Bahkan kami turun sembari berlari. Sapaan para tukan
kebun menambah nikmat penjelajahan kami. Danau Moat sekali lagi memperlihatkan
wajahnya yang tengah senyum lebar. Decak kagum terus mengikuti sepanjang
perjalanan pulang: Bongkudai, Modoinding, Tompaso Baru, Ranoiapo, Motoling dan
Tondei. Kami sempat mampi di sebuah pasar swalayan di Tompaso baru. Disitu kami
menimati kopi, teh dan nasi ayam goreng yang gurih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar