[sebuah laporan perjalanan]
oleh Iswan Sual
Gelap. Dalam. Angker. Menantang. Itu semua tak menghalang i beberapa orang
yang demen dengan petualangan dan menguji keberanian . Pada 6-8 Agustus baru
lewat beberapa anak muda dengan latar belakang agama dan asal yang berbeda
boleh hidup bersama di area gua Susuripen. Mereka berbagi cerita , canda tawa,
makanan, tempat tidur. Semua dilakukan bersama dengan kesadaran. Dan bukan
paksaan doktrin. Dua hari itu nilainya melampaui teori-teori di dalam kelas
yang dicecarkan oleh guru-guru yang hanya bicara tapi tak mempraktekannya.
Teori mereka hanya berisi ucapan-ucapan kosong tanpa teladan yang nyata. Dua
hari itu melebihi khotbah dari atas mimbar yang banyak cenderung menakut-nakuti
jemaat dengan api neraka dan menyebar fitnah tentang ajaran agama lain. Dua
hari itu melampaui pertemuan "tokoh-tokoh perdamaian" yang lebih
banyak didorong oleh kehendak mencari keuntungan pribadi. Mereka adalah
orang-orang yang di depan umum bicara kasih tapi kembali ke tempat asalnya lalu
ulang lagi menyuburkan permusuhan di kelompoknya. Maaf, aku bicara agak
melompat-lompat dan terbawa emosi.
Inti tulisan ini bukan untuk bicara soal agama. Tapi hal yang lebih penting dari itu, yaitu kehidupan.
Kami datang dari kampung yang berbeda. Ada yang dari Motoling, Tomohon, Manado, Tondei dan Tataaran. Keyakinan kami juga beragam. Ada yang beraliran Calvinis, ada yang Anabaptis dan ada pengikut Nabi Muhammad. Tapi gua Susuripen menghapus sekat perbedaan itu. Kami memang sudah beda. Untuk apalagi dibeda-bedakan. Itu prinsip kami. Itu landasan berpikir kami.
Tiba di basecamp saat hari sudah malam. Kira-kira jam 8. Yang tiba awal hanya kami berlima. Saya, Hesky Pangaila, Chaves Tiwa, Yanli Sengkey, dan Charli Lowing. Dua orang lainnya, Barten dan Geral datang sejam atau dua jam kemudian. Dua orang lagi, Jufri Mogogibung dan Berry Tamba, datang besok paginya.Tapi malam itu kami belum masuk ke gua. Kami berdiam kurang lebih 30 Meter jauhnya dari lokasi gua.
Diameter mulut gua adalah kurang lebih 8 meter. Mulut yang menganga itu bisa menelan dua kepala truk sekaligus. Rupanya mirip mulut ular patola. Itu aku baru sadari setelah sudah beberapa kali ke tempat itu yaitu pada hari kedua, 7 Agustus 2014. Bila hanya mengenakan sendal jepit kami harus hati-hati menurun masuk ke gua itu. Untung saja aku menggunakan sendal khusus yang kuat dan tak mudah sliding atau terpeleset. Rombongan yang masuk pertama sebanyak 6 orang. Rombongan kedua Empat orang. Saya dan dan Barten tergabung dalam kedua gombongan itu. Apa yang membuat masuk gua ini menjadi menarik atau menantang? Saya pikir kegelapannya. Kegelapan membuat orang takut. Di gua ini kita bisa berlatih untuk mengalahkan rasa takut kita. Karena sebenarnya kita bisa bersahabat dengan gelap. Karena gelap kadang lebih mengangsyikan daripada terang. Saya meminta teman-teman mematikan senter dan alat penerang lain ketika kami berada di tempat terjauh dan terlengang dari gua. Hal yang lain yang membuat masuk menjadi menarik dan menantang adalah kita bila bertemu dengan makhluk asing seperti kalong (Minahasa: Peret/Paniki), laba-laba gua, jangkrik gua dan sungai gua, kolam gua, stalagmit, stalaktit, dll. Banyak orang takut dengan kalong atau kelelewar. Binatang itu dituduh sebagai setan karena rupanya yang menakutkan. Bila anda melihatnya dalam gua, akan lebih menakutkan lagi. Namun, kita akan tahu ternyata mereka sebenarnya tidak berbahaya.
Di dalam gua yang panjangnya kurang lebih 60 meter itu kami berbincang dan berseloroh. Kami saling bantu menunjuk jalan dan teknik menyusur. Karena di gua ini kami kadang bisa berjalan tegak. Di dalam terdapaT chamber (ruang) yang tingginya barangkali 5 meter. Ada yang lebih rendah. Ada yang lebar. Ada juga yang sangat sempit sehingga kami mesti merayap dan tiarap bak tentara dalam perang.
Yang jadi tantangan paling besar adalah ketika kami membutuhkan air untuk keperluan memasak dan minum. Harus ada orang yang bersedia mengambil air di dalam gua yang gelap itu. Sekali lagi, rasa takut harus dilawan. Suara kelelawar kadang terdengar seperti suara manusia bila di dalam gua. Punggung kandang dingin merinding. Kepala terasa membesar.
Petualangan kami berakhir saat kami turun pada 8 Agustus 2014. Kami meluncur menuju Kakaskasen 1, Tomohon. Ke rumah Barten. Kami dijamu dengan teh hangat dan makanan PENGUCAPAN. Ternyata hari ini adalah hari PENGUCAPAN kota Tomohon. Kok bisa kebetulan ya. Rasanya, dua atau tiga minggu lalu, waktu kami turun dari Susuripen, juga hari Pengucapan kota tetangga Tomohon. Hehehehehe...
Inti tulisan ini bukan untuk bicara soal agama. Tapi hal yang lebih penting dari itu, yaitu kehidupan.
Kami datang dari kampung yang berbeda. Ada yang dari Motoling, Tomohon, Manado, Tondei dan Tataaran. Keyakinan kami juga beragam. Ada yang beraliran Calvinis, ada yang Anabaptis dan ada pengikut Nabi Muhammad. Tapi gua Susuripen menghapus sekat perbedaan itu. Kami memang sudah beda. Untuk apalagi dibeda-bedakan. Itu prinsip kami. Itu landasan berpikir kami.
Tiba di basecamp saat hari sudah malam. Kira-kira jam 8. Yang tiba awal hanya kami berlima. Saya, Hesky Pangaila, Chaves Tiwa, Yanli Sengkey, dan Charli Lowing. Dua orang lainnya, Barten dan Geral datang sejam atau dua jam kemudian. Dua orang lagi, Jufri Mogogibung dan Berry Tamba, datang besok paginya.Tapi malam itu kami belum masuk ke gua. Kami berdiam kurang lebih 30 Meter jauhnya dari lokasi gua.
Diameter mulut gua adalah kurang lebih 8 meter. Mulut yang menganga itu bisa menelan dua kepala truk sekaligus. Rupanya mirip mulut ular patola. Itu aku baru sadari setelah sudah beberapa kali ke tempat itu yaitu pada hari kedua, 7 Agustus 2014. Bila hanya mengenakan sendal jepit kami harus hati-hati menurun masuk ke gua itu. Untung saja aku menggunakan sendal khusus yang kuat dan tak mudah sliding atau terpeleset. Rombongan yang masuk pertama sebanyak 6 orang. Rombongan kedua Empat orang. Saya dan dan Barten tergabung dalam kedua gombongan itu. Apa yang membuat masuk gua ini menjadi menarik atau menantang? Saya pikir kegelapannya. Kegelapan membuat orang takut. Di gua ini kita bisa berlatih untuk mengalahkan rasa takut kita. Karena sebenarnya kita bisa bersahabat dengan gelap. Karena gelap kadang lebih mengangsyikan daripada terang. Saya meminta teman-teman mematikan senter dan alat penerang lain ketika kami berada di tempat terjauh dan terlengang dari gua. Hal yang lain yang membuat masuk menjadi menarik dan menantang adalah kita bila bertemu dengan makhluk asing seperti kalong (Minahasa: Peret/Paniki), laba-laba gua, jangkrik gua dan sungai gua, kolam gua, stalagmit, stalaktit, dll. Banyak orang takut dengan kalong atau kelelewar. Binatang itu dituduh sebagai setan karena rupanya yang menakutkan. Bila anda melihatnya dalam gua, akan lebih menakutkan lagi. Namun, kita akan tahu ternyata mereka sebenarnya tidak berbahaya.
Di dalam gua yang panjangnya kurang lebih 60 meter itu kami berbincang dan berseloroh. Kami saling bantu menunjuk jalan dan teknik menyusur. Karena di gua ini kami kadang bisa berjalan tegak. Di dalam terdapaT chamber (ruang) yang tingginya barangkali 5 meter. Ada yang lebih rendah. Ada yang lebar. Ada juga yang sangat sempit sehingga kami mesti merayap dan tiarap bak tentara dalam perang.
Yang jadi tantangan paling besar adalah ketika kami membutuhkan air untuk keperluan memasak dan minum. Harus ada orang yang bersedia mengambil air di dalam gua yang gelap itu. Sekali lagi, rasa takut harus dilawan. Suara kelelawar kadang terdengar seperti suara manusia bila di dalam gua. Punggung kandang dingin merinding. Kepala terasa membesar.
Petualangan kami berakhir saat kami turun pada 8 Agustus 2014. Kami meluncur menuju Kakaskasen 1, Tomohon. Ke rumah Barten. Kami dijamu dengan teh hangat dan makanan PENGUCAPAN. Ternyata hari ini adalah hari PENGUCAPAN kota Tomohon. Kok bisa kebetulan ya. Rasanya, dua atau tiga minggu lalu, waktu kami turun dari Susuripen, juga hari Pengucapan kota tetangga Tomohon. Hehehehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar