Senin, 11 Agustus 2014

MENGECAP KEPERAWANAN LOLOMBULAN




(Laporan perjalanan ke puncak gunung Lolombulan 28-29 Juni 2014)
Perjalanan II


Oleh Iswan Sual



Perjalanan ke pegunungan Lolombulan kali ini adalah perjalanan kali kedua. Yang pertama kami lakukan pada 9-10  Mei 2013 dengan anggota 9 orang. Kesemuanya dari Tondei. Jalur yang kami lalui waktu itu ditempuh dari perkebunan Punti, wilayah kepolisian desa Tondei. Pada kesempatan ini kami mengambil jalur yang berbeda. Kami masuk hutan Lolombulan dari desa Raanan Baru. Yang masuk dalam tim pendakian kami juga bukan hanya dari desa Tondei. Saya, Jufri Mogogibung, Berry Tamba dan Ferlandi Wongkar adalah empat orang dari Tondei. Sedangkan Hesky Pangaila dan Vidi Wowor berasal dari Motoling. Barten Natan Kopalit berasal dari Kakaskasen Tomohon. Rivo berasal dari Kapataran, Tondano. Erick berasal dari Bahu, Manado. Dan Vini dan Christy, dua orang gadis, berasal dari Lompad Baru.
Dari Tondei kami menggunakan tiga sepeda motor. Milik saya, milik Ferlandi dan milik Jufri. Yanli Sengkey dan Rianto Wongkar turut mengantar kami ke desa Raanan Baru. Rianto sempat memimpin doa perjalanan kami sebelum berangkat dari Raanan Baru ke base camp atau Pos 1. Awalnya memang agak sedikit mengecewakan ketika kami tiba di lokasi yang disepakati menjadi titik pertemuan kami, kantor camat Motoling Barat. Begitu tim Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT) tiba, Vidi Wowor langsung menyampaikan maaf karena beberapa anggotanya di Komunitas Pecinta Alam Bebas (KPAB) Lolombulan Motoling membatalkan keikutsertaan mereka. Ada kesibukan dalam pesta pernikahan, katanya.
Selanjutnya, kami tinggal menunggu rombongan pendaki yang start dari Tomohon pimpinan Hesky Pangaila. Kami menghubungi telpon genggamnya. Lalu kami tahu bahwa ternyata mereka telah lama menunggu di rumah Hukum Tua Raanan Baru. Ternyata kami semua lumayan tepat waktu. Sesuai perjanjian kami bertemu di kantor camat pukul 03.00 sore. Ketika bertemu rombongan Hesky sempat terjadi basa-basi untuk saling menyesuaikan diri. Sebab ada lima orang yang belum kami kenal. Kami saling jabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Tak butuh waktu lama kami sudah bisa saling akrab. Canda tawa di antara kami langsung meledak dan menghancurkan dinding penyekat kekakuan.
Halaman rumah dan beberapa kursi dipinjamkan oleh tuan rumah yang ada di sebelah kantor camat itu. Bapak dan ibunya ramah dan mau menerima kami. Percakapan hangat berlangsung singkat dan turut menambah semangat mendaki kami. Kurang lebih 15 menit kami disitu. Setelah kenyaman diantara satu sama lain telah terjalin kami yang berjumlah 11 orang memutuskan untuk memulai perjalanan. Kami mengambil jalan baru menuju bak air Raanan Baru. Adalah semua sistem perairan yang modern dan nampak sangat bagus sekali. Bak penampungan air yang besar, dua gedung dengan atap bercat biru berdiri megah. Areanya juga dipagari kawat yang kokoh. Kami berbelok ke kiri sebelum menyentuh pagar area bak air itu. Melewati jalan sedikit miring. Di tepi jalan dua ekor sapi tengah menikmati rumput palango yang subur. Sapi-sapi itu gemuk perawakannya. Dekat situ ada sepasang suami istri sedang menurunkan kopra dari pakopra’an. Tangan dan wajah mereka hitam oleh jelaga dan arang. Sempat pula kami saling melempar gurauan. Ada satu dua orang dari kami yang diijinkan mengambil kompra untuk dimakan. Jalanan yang baru diguyur hujan langsung mengubah warna celana dan pakaian kami. Aku beberapa kali terperosok ke dalam kubangan air  dan lumpur. Barangkali kejadian itu dirasa lucu sehingga gelak tawa pun pecah tatkala aku berteriak sesal oleh karena terperosok. Ada yang tawanya terumbar. Ada juga yang keluar dalam rupa cekikian. Sedikit tertahan tapi bisa didengar.
“Pe soe skali eh! Orang taisi di pece, ngoni cuma tatawa. Emplas bakutulung angka,” secara spontan yang dengar tertawa dann kian menjadi.
Di sepanjang jalan tanaman paku, orang Indonesia menyebutnya pakis, yang subur, menggoda langkah-langkah aku dan Jufri. Kami pun berinisiatif memetik pakis-pakis itu. Kami tak tahan dirayu oleh bayangan kelezatannya bila telah dimasak. Pohon kelapa dan cengkeh terdapat dimana-mana. Kadang-kadang terlihat juga pohon coklat yang telah berwarna kuning lantaran sudah matang. Saat kami akan memasuki hutan, Vidi langsung menginformasikan bahwa kami akan mendirikan tenda di situ. Sesuai kesepakatan kami, sewaktu masih di kantor camat, bahwa kami belum akan meneruskan perjalanan ke puncak hari itu. Hari telah dekat malam soalnya. Kami mesti menghabiskan malam di area yang dianggap vidi cocok dijadikan sebagai base camp. Disitu terdapat air mengalir yang jernih. Ada bak air yang lebih kecil yang yang kami lihat sebelumnya. Rupanya bak itu adalah bak air lama sumber air orang Raanan Baru. Saya dan Vidi mengecek lokasi di dekat air. Dan kami menemukan area yang datar dan dekat jalan lebar. Jalan bekas orang menarik kayu-kayu yang ditebang di hutan. Di pinggiran bak itu terdapat sisa peralatan pengolahan sagu. Dan yang menarik adalah bak itu memiliki pancuran air yang besar. Wah, pasti tempat itu akan jadi tempat sempurna untuk menginap malam ini, begitu celetukku dalam hati.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk mendirikan empat tenda di lokasi itu.  Tiga tenda dengan kapasitas dua orang. Dan satu tenda dengan kapasitas empat orang. Pembersihan area dari rumput tak menguras banyak tenaga. Namun, setelah selesai hujan mengguyur kami. Siraman hujan itu kuanggap sebagai sapaan lembut Lolombulan terhadap kami para pecinta alam. Memang, hujan itu menambah keakraban di antara kami. Karena hujan itu kami jadi saling bahu membahu memasang terpal dan flysheet untuk melindungi tenda dari basah. H
ujan itu pula yang mendorong kami supaya segera memasak air untuk membuat kopi hangat. Dan, sembari minum kopi, percakapan akrab pun hadir di antara kami.
Ketika malam datang suasana sedikit mencekam. Aroma angker dan mistis tercium jelas. Sudah beberapa kali tenda kami dilempar. Dua orang di antara tim mengaku melihat lo’lok, makhluk kecil mirip manusia yang dipercaya orang Minahasa  punya kemampuan terbang atau melompat dari satu pohon ke pohon lain. Konon, makhluk ini sering membawa manusia ke dunia mereka. Dua teman dari tim kami menyebutkan bahwa mereka masing-masing melihat makhluk itu bertengger di daun pohon dekat bak air dan duduk di batu di dekat pancuran. Suasana semakin mencekam tatkalah seorang gadis kesurupan. Ini yang membuat kami tak bisa tidur nyenyak waktu itu. Baru kira-kira pukul 3 kami bisa terlelap. Lain halnya dengan Jufri dan Berry, mereka seolah hilang ditelan tenda sepanjang malam. Besoknya kami sama-sama tahu ternyata lemparan pada tenda yang kami dengar semalam sebelumnya adalah buah-buah kecil yang jatuh dari pohon besar yang tak jauh dari situ.
Tidur kami yang singkat terputus saat terdengar suara gaduh dua gadis berbincang penuh energi di dekat pancuran. Sudah bisa diduga siapa mereka. Mereka mempergunakan kantuk berat kami untuk membersihkan badan. Percakapan panjang mereka yang menggebu-gebu akhirnya membangunkan kami sepenuhnya. Apalagi ketika teman-teman lain disuruh keluar dari tenda lantaran para putri cantik itu hendak menggunakan tenda untuk bertukar pakaian. Saya yang berdiam di tenda sebelah pun bangun dan berjalan menyusuri perkebunan sekitar untuk menghirup udara pagi dan menangkap sinar mentari sembari memetik sayur pakis yang bertebaran dimana-mana. Selanjutnya, waktu diisi dengan percakapan, minum kopi susu dan makan siang serta packing sebagai persiapan menuju puncak kuntung Lolombulan. Gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dpl.
Dari base camp kami menuju ke perkebunan yang terdapat banyak tanaman coklat. Dari situ kami masuk hutan dengan menanjakki kemiringan sepanjang 100 meter. Sudah itu kami mengikuti punggung kuda, area yang sempit dimana kiri kanannya terdapat jurang. Semakin kami masuk ke dalam hutan, semakin jelas jalannya. Lintah-lintah pun kian berani melompat, menempel dan menghisap darah. Kami menemui jalur tukang captikus. Kami mengambil jalan kiri. Lalu kanan dan menanjak lagi. Kami senantiasa mengikuti jalur yang ditandai tali rafia merah dan biru yang diikat melingkar pada pohon. Di area dimana terdapat longsor yang terletak disebelah kanan kami berhenti sejenak. Cuka yang Vidi dapatkan dari tampa bacaptikus diteteskan pada linta-linta yang sudah gendut mendadak karena tubuh mereka penuh darah. Aku terheran-heran melihat kenyataan bahwa cuka itu mampu membuat linta-linta itu jatuh ke tanah. Di area longsor itu kami sempat mengambil foto dengan latar belakang ujung gunung Soputan. Area itu memang sedikit terbuka. Dan barangkali area itu satu-satunya  di gunung Lolombulan yang terbuka seperti itu. Lolombulan memang masih merupakan gunung perawan alias masih terjaga baik dibanding hutan Kalabat, Soputan dan Tampusu. Memang penebangan marak terjadi. Tapi keadaannya tak separah hutan-hutan lainnya di Sulawesi Utara. Gunung Lolombulan juga masih sangat jarang didaki oleh kelompok-kelompok pecinta alam.
Dari area longsor itu, kelak kami menyebutnya Pos Pemandangan (Panorama), kami berjalan menyusuri jalan yang tak sulit hingga kami tiba di area datang yang sangat luas. Kira-kira beberapa hektar luasnya. Area itu terletak di antara dua gunung. Ibaratnya kami berada di antara buah dada perempuan. Dekat situ di utara terdapat pancuran dengan air yang sangat sedikit. Kami memilih untuk menanjak payudara di sebelah kiri. Karena itulah yang tertinggi. Kurang lebih 15 menit perjalanan kami ke puncak. Pemandangan desa-desa di kecamatan Tenga sempat tersungguhkan di depan mata setiap kami. Hanya saja pohon-pohon sedikit pelit memberi celah untuk melihat pemandangan yang lebih luas lagi. Dari situ juga kami bisa melihat desa Tiniawangko. Kami tiba di puncak pukul 12.00.  Di puncak itu kami tak bisa melihat pemandangan sekitar yang lebih rendah. Desa kami, Tondei tak bisa tertangkap mata. Di puncak terdapat lubang panjang berbentuk huruf L. Ada informasi yang mengatakan bahwa sebenarnya lubang L itu adalah paal buatan Belanda untuk menandakan ketinggian gunung. Banyak orang bilang, orang-orang tua di desa kami, bahwa di puncak Lolombulan juga terdapat sebuah bak besar yang sudah dililiti akar dan lumput sehingga tak terlihat.
Saya dan Jufri termasuk orang yang tak puas pada waktu itu. Mencapai puncak taklah memberi rasa bahagia yang penuh. Kami butuh pemandangan. Akhirnya, saya dan Jufri berkeliling di sekitar situ untuk mencari area terbuka dimana kami bisa menikmati pemandangan. Kami tak menemukannya. Aku memutuskan untuk memanjat pohon. Barulah aku bisa melihat ujung desa Tiniawangko dan keseluruhan dusun jauh Pelita, bagian dari desa Tondei. Keseluruhan desa kami tak terjangkau mata. Dihalangi kuntung Kantil, Rakowulan dan Lincewulan. Saya sempat mengambil berberapa gambar. Demi itu tangan saya sempat tertusuk dan terjepit duri rotan. Jufri juga ikut memanjat pohon begitu aku melompat turun. Ferlandi juga menyusul saya dan Jufri. Tapi dia tak tertarik melihat pemandangan dari atas pohon. Tak lama sesudah itu kami pun bergabung dengan rombongan yang masih saja berfoto ria di sekitar lubang L. Jam 1 kami turun dari puncak dengan melewati jalan yang sama. Sempat saya dan Berry bertemu cacing raksasa. Awalnya kami mengira itu seekor ular. Setelah kami perhatikan dengan seksama dan menyentuhnya, baru kami tahu itu adalah cacing. Ternyata hutan Lolombulan tak hanya identik dengan linta, tapi juga cacing raksasa. Ketika kami tiba di tenda nasi goreng telah dibuatkan untuk kami oleh Hesky. Tapi tidak cukup untuk semua. Masih perlu masak lagi. Dia memang tidak ikut bersama kami ke puncak demi menjaga tenda dan peralatan lainnya. Katanya situasi menjadi aneh ketika dia sendirian. Ada suara-suara yang memanggil.
Setelah makan siang kami meminta ijin Vidi agar kami dapat menyisipkan acara Diksar Materi Basah KPAT dan Pelantikan dua anggota baru. Kami perlu minta ijinnya karena kami sadar bahwa kegiatan pendakian ke Lolombulan adalah kegiatan KPAB Lolombulan Motoling. Status kami hanyalah undangan. Jadi, kami perlu menerapkan sopan santun. Berry Tamba dan Ferlandi Wongkar resmi dilantik di base camp itu. Teman-teman dari komunitas lain turut membantu memberi pemahaman kepada dua anggota baru itu. Begitu semua tuntas kami pun angkat kaki dari situ. Di kantor camat Yanli dan Rianto sudah menunggu dengan sabar. Rupanya kami agak terlambat. Jam 3 lewat baru kami tiba disitu. Tak lama kami saling pamit lalu berpisah. Perasaan senang dan puas mengikuti hingga kami tiba di rumah. Cerita tentang pengalaman itu kembali diceritakan begitu kami sampai. Kami menceritakannya dengan bangga. Layaknya para waraney (pahlawan) Minahasa yang, baru pulang dari medan perang, bercerita pada anak-anak mereka.


Minggu, 10 Agustus 2014

MENJAWAB TANTANGAN SUSURIPEN


[sebuah laporan perjalanan]
oleh Iswan Sual 

Gelap. Dalam. Angker. Menantang. Itu semua tak menghalang i beberapa orang yang demen dengan petualangan dan menguji keberanian . Pada 6-8 Agustus baru lewat beberapa anak muda dengan latar belakang agama dan asal yang berbeda boleh hidup bersama di area gua Susuripen. Mereka berbagi cerita , canda tawa, makanan, tempat tidur. Semua dilakukan bersama dengan kesadaran. Dan bukan paksaan doktrin. Dua hari itu nilainya melampaui teori-teori di dalam kelas yang dicecarkan oleh guru-guru yang hanya bicara tapi tak mempraktekannya. Teori mereka hanya berisi ucapan-ucapan kosong tanpa teladan yang nyata. Dua hari itu melebihi khotbah dari atas mimbar yang banyak cenderung menakut-nakuti jemaat dengan api neraka dan menyebar fitnah tentang ajaran agama lain. Dua hari itu melampaui pertemuan "tokoh-tokoh perdamaian" yang lebih banyak didorong oleh kehendak mencari keuntungan pribadi. Mereka adalah orang-orang yang di depan umum bicara kasih tapi kembali ke tempat asalnya lalu ulang lagi menyuburkan permusuhan di kelompoknya. Maaf, aku bicara agak melompat-lompat dan terbawa emosi.
Inti tulisan ini bukan untuk bicara soal agama. Tapi hal yang lebih penting dari itu, yaitu kehidupan.
Kami datang dari kampung yang berbeda. Ada yang dari Motoling, Tomohon, Manado, Tondei dan Tataaran. Keyakinan kami juga beragam. Ada yang beraliran Calvinis, ada yang Anabaptis dan ada pengikut Nabi Muhammad. Tapi gua Susuripen menghapus sekat perbedaan itu. Kami memang sudah beda. Untuk apalagi dibeda-bedakan. Itu prinsip kami. Itu landasan berpikir kami.
Tiba di basecamp saat hari sudah malam. Kira-kira jam 8. Yang tiba awal hanya kami berlima. Saya, Hesky Pangaila, Chaves Tiwa, Yanli Sengkey, dan Charli Lowing. Dua orang lainnya, Barten dan Geral datang sejam atau dua jam kemudian. Dua orang lagi, Jufri Mogogibung dan Berry Tamba, datang besok paginya.Tapi malam itu kami belum masuk ke gua. Kami berdiam kurang lebih 30 Meter jauhnya dari lokasi gua.
Diameter mulut gua adalah kurang lebih 8 meter. Mulut yang menganga itu bisa menelan dua kepala truk sekaligus. Rupanya mirip mulut ular patola. Itu aku baru sadari setelah sudah beberapa kali ke tempat itu yaitu pada hari kedua, 7 Agustus 2014. Bila hanya mengenakan sendal jepit kami harus hati-hati menurun masuk ke gua itu. Untung saja aku menggunakan sendal khusus yang kuat dan tak mudah sliding atau terpeleset. Rombongan yang masuk pertama sebanyak 6 orang. Rombongan kedua Empat orang. Saya dan dan Barten tergabung dalam kedua gombongan itu. Apa yang membuat masuk gua ini menjadi menarik atau menantang? Saya pikir kegelapannya. Kegelapan membuat orang takut. Di gua ini kita bisa berlatih untuk mengalahkan rasa takut kita. Karena sebenarnya kita bisa bersahabat dengan gelap. Karena gelap kadang lebih mengangsyikan daripada terang. Saya meminta teman-teman mematikan senter dan alat penerang lain ketika kami berada di tempat terjauh dan terlengang dari gua. Hal yang lain yang membuat masuk menjadi menarik dan menantang adalah kita bila bertemu dengan makhluk asing seperti kalong (Minahasa: Peret/Paniki), laba-laba gua, jangkrik gua dan sungai gua, kolam gua, stalagmit, stalaktit, dll. Banyak orang takut dengan kalong atau kelelewar. Binatang itu dituduh sebagai setan karena rupanya yang menakutkan. Bila anda melihatnya dalam gua, akan lebih menakutkan lagi. Namun, kita akan tahu ternyata mereka sebenarnya tidak berbahaya.
Di dalam gua yang panjangnya kurang lebih 60 meter itu kami berbincang dan berseloroh. Kami saling bantu menunjuk jalan dan teknik menyusur. Karena di gua ini kami kadang bisa berjalan tegak. Di dalam terdapaT chamber (ruang) yang tingginya barangkali 5 meter. Ada yang lebih rendah. Ada yang lebar. Ada juga yang sangat sempit sehingga kami mesti merayap dan tiarap bak tentara dalam perang.
Yang jadi tantangan paling besar adalah ketika kami membutuhkan air untuk keperluan memasak dan minum. Harus ada orang yang bersedia mengambil air di dalam gua yang gelap itu. Sekali lagi, rasa takut harus dilawan. Suara kelelawar kadang terdengar seperti suara manusia bila di dalam gua. Punggung kandang dingin merinding. Kepala terasa membesar.
Petualangan kami berakhir saat kami turun pada 8 Agustus 2014. Kami meluncur menuju Kakaskasen 1, Tomohon. Ke rumah Barten. Kami dijamu dengan teh hangat dan makanan PENGUCAPAN. Ternyata hari ini adalah hari PENGUCAPAN kota Tomohon. Kok bisa kebetulan ya. Rasanya, dua atau tiga minggu lalu, waktu kami turun dari Susuripen, juga hari Pengucapan kota tetangga Tomohon. Hehehehehe...

Selasa, 05 Agustus 2014

DUA MALAM DI WILAYAH PEMUKIMAN OPO RUMENGAN



[Catatan perjalanan ke gunung Mahawu dan gua Susuripen Tomohon]
Oleh Iswan Sual


17 Juli 2014
Baru kali ini saya dan teman-teman mengadakan perjalanan yang sifatnya adventure dengan menggunakan kendaraan sendiri. Biasanya kami hitchhiking alias ba-D.O. Dua sepeda motor membawa empat orang menuju puncak gunung Mahawu. Dulunya gunung ini bernama Rumengan. Konon, salah seorang keturunan Toar dan Lumimuut yang bernama Rumengan dulunya bermukim di gunung ini. Kami berencana memarkir sepeda motor RX King dan Karisma itu di sekitar pos polisi hutan. Namun sayangnya pos itu tak berpenghuni. Kami pun langsung berbalik arah ke area yang sangat baik panoramanya. Dari situ kami dapat menikmati pemandangan kota Tondano. Di dekat sabuah besar yang terletak di pinggir jalan kami mendirikan tenda mungil kami.
Terpaan angin yang menusuk tulang memaksa kami membuat api unggun. Adhi Bella paling jago dalam soal itu. Dia rela sebagian badan kuyup oleh embun di rerumputan demi mencari kayu bakar. Minuman hangat juga turut memberi kelegaan sesaat. Sayangnya, semakin larut malam semakin tebal kabut menutup pemandangan di depan. Kami  menyerbu tenda mungil hijau hitamku dan sontak bersembunyi dalam selimut yang hanya satu. Yang malang adalah Adhi. Dia hanya bercelana pendek dan tak membawa pakaian hangat lain yang tebal. Meski kami berempat sangat berdempetan dalam tenda itu rasa hangat tak mau datang. Padahal biasanya kami jadi kegerahan bila jumlah manusia dalam tenda sudah seperti itu. Kami pun bangun lagi dan merebus air untuk membuat kopi panas. Rasa hangat hanya sekejab kami dapat. Habis itu kami berebutan lagi masuk dalam tenda dan menggigil.  Lalu perlahan kesadaran mulai hilang….
Jam tiga pagi tiba-tiba raungan keras sepeda motor mendadak mendekat. Lewat di tenda kami. Lalu berhenti kurang lebih 20 meter dari kami. Mungkin ada empat sepeda motornya. Dan kedengaran mereka itu adalah anak-anak muda yang datang berpasangan untuk bersenang-senang. Bicara mereka sangat gaduh. Sumpah serapah menyembur dari mulut mereka
. Dari logat aku bisa simpulkan mereka datang dari Tondano. Mungkin saja aku keliru. Tapi aku yakin itu. Tiba-tiba seorang gadis berteriak histeris. Tak tahu mengapa. Kian lama kian menjadi gadis itu. Rupanya kesimpulanku sama dengan mereka. Mereka diganggu makluk gaib, pikirku. Itu jelas dari komentar yang mereka lemparkan saat pulang melewati tenda kami yang berdiri persis di tepi jalan.
“Oh ini karna manusia babi-babi ini kwa sampe dia babataria bagini!”
Agak geram juga mendengar kalimat itu. Heran. Kenapa mereka sampai pada kesimpulan bahwa kamilah penyebab mereka diganggu makhluk halus. Barangkali masalahnya bukan pada kami melainkan pada mereka lantaran datang ke area itu seraya membuat gaduh. Tak ada sopan santunnya. Mereka kira hanya manusia satu-satunya makhluk yang berdiam disitu. Begitu mereka pergi aku bangun dan menyalahkan konfor dan merebus air. Diikuti oleh Yanli dan Adhi. Sedangkan Della lelap di dalam sleeping bag-nya. Ternyata aku bukan satu-satunya orang di dalam tenda yang mendengar ulah komplotan anak muda beberapa menit lalu.

19 Juli 2014
Kami bangun saat matahari belum menampakkan diri. Udara dingin masih menusuk sum-sum. Tetapi, kami nekad. Tak mau kami melewati pemandangan wanua Tondano di saat pagi. Tambah lagi, kami mesti bergegas pergi sebelum pemilik kebun datang ke tempat di mana kami mendirikan tenda.
Sayangnya pemandangan pagi yang kami harapkan tak muncul. Kabut putih menghalangi penglihatan. Namun, puncak gunung Klabat dan daerah Tondano Pante bisa terlihat. Kami hanya mengambil satu atau dua foto sahaja. Sudah itu kami menanjak dengan sepeda motor ke pos polisi hutan. Saat tiba belum ada juga penjaganya. Palang masih merintang. Dengan agak enggan kami menerobos masuk area yang masih dihalangi tersebut. Tampak di bagian kanan, sedang terjadi pembangunan jalan setapak menuju hutan. Tak lama kemudian satu rombongan orang datang. Sepertinya mereka berasal dari luar daerah. Tak lama kami berbincang. Lalu, istirahat sejenak di sebuah pondok kecil sembari melempar pandangan ke rumah kayu di depan kami. Rumah khas Minahasa. Rumah panggung yang sudah banyak diminati di luar negeri. Perlahan kami menapaki anak tangga satu demi satu menuju ke puncak Mahawu. Sesekali berhenti dan mengambil foto. Yang menarik dari gunung Mahawu adalah ketiadaan ujung gunungnya. Ujungnya telah ludes karena proses vulkanik dan telah menjadi lobang besar yang dalam. Sering kami menyebutnya kawah. Kami menggitari pinggiran kawah itu sehingga peluh-peluh besar keluar dari lubang-lubang tubuh kami.
Tak lama kemudian langit menjadi terang benderang. Sengatan mentari mulai buat kami benaut. Di sebelah kanan gunung berdiri kokoh gunung Lokon. Penampilannya anggun. Kelihatan sangat bersemangat. Karena selalu menjadi yang pertama disambut sang fajar. Aku membayangkan dia sedang tiki pinggang sambil mengeluarkan asap tebal. Di depan terhampar pemandangan kota Manado, laut dan pulau Bunaken dan Manado Tua. Setelah puas, kami beristirahat. Kami bertemu tiga atau mungkin empat rombongan orang luar negeri. Ada yang dari Amerika, Jerman dan lainnya. Kurang lebih 20 0rang banyaknya. Aku bisa membedakan mereka dari bahasa mereka yang tertutur. Wisatawan lokal sedikit. Orang setempat memang biasanya kurang berminat melihat matahari terbit di Mahawu rupanya.
Sebelum turun kami sempat memungut empat karung sampah. Butuh kira-kira dua jam untuk selesaikan pembersihan disitu. Umumnya sampah terdiri dari sampah plastic: gelas, kaleng, botol, pembungkus permen dan kemasan makanan ringan. Memang kedatangan kami ke gunung ini adalah bagian dari pemberian pemahaman tentang kepedulian terhadap lingkungan kepada calon anggota, Adhi Bella. Dia sudah menyatakan diri hendak bergabung dalam Kelompok Pecinta Alam kami, KPAT. Kami tak mau berteori. Kami perlu memberi teladan dan contoh konkrit. Ada beberapa orang yang memberi apresiasi terhadap upaya kami. Karena kagumnya, barangkali, sampai ada yang meminta supaya berfoto bersama. Mereka juga tertarik untuk bertanya nama organisasi kami.
Kira-kira jam 12  kami tiba di basecamp gua Susuripen. Hanya butuh beberapa menit dari puncak Mahawu untuk bisa sampai ke area gua. Jalan masuknya dekat dengan pos polisi di persimpangan jalan menuju  Rurukan. Dari pos terletak di sebelah kiri. Ada penunjuknya. Mulanya agak sedikit menanjak. Kurang lebih 30 meter jauhnya. Tapi bisa ditempuh dengan sepeda motor. Di tempat agak datar kami memarkir sepeda motor kami. Dari situ kami berjalan menurun hingga area basecamp. Jaraknya hanya 100 meter. Tak ada seorang pun di sana. Hanya bekas perapian yang baru dipadamkan. Memang semalam sebelumnya kami sempat melihat dua orang lelaki sedang menanjak menuju gua. Kami sempat melihat mereka di sekitar pancuran, kebun sayur milik warga Tomohon. Sebelum tenda berdiri saya langsung mengajak Adhi Bella menurun dan masuk ke dalam gua. Dia terlihat begitu bersemangat dan berani. Ruang gelap dan sempit serta bunyi kelelawar yang menyeramkan tak menyurutkan kehendaknya menyusuri gua.
Begitu kami tiba kembali di basecamp, tenda telah berdiri dan makanan pun telah hampir siap disantap. Sudah itu kami makan dan tidur sejenak. Tiba-tiba hujan mengguyur. Lalu berhenti. Saat itulah saya mengajak Yanli Sengkey masuk gua. Gua Susuripen (Tontemboan: persembunyian) memiliki dua chamber (ruang) yang luas. Panjangnya kurang lebih 30 meter. Susuripen termasuk gua alam yang tercipta oleh proses vulkanik. Della Palapa tak tertarik menyusurinya. Mungkin juga karena takut. Saya dan Yanli menghabiskan satu jam di dalam gua. Di dalam kami melihat jejak manusia. Ada jejak yang datang hanya untuk berkunjung. Ada jejak karena kepentingan ritual/ibadah Minahasa. Dan ada juga yang datang sambil merusak. Ban-ban bekas yang dibakar dalam gua sangat merusak pemandangan dan kehidupan makhluk di dalam. Disinilah saya berpikir bahwa orang-orang yang datang itu bukan kelompok pecinta alam. Mereka hanya petualang yang sama sekali tak peduli dengan alam. Bukan hanya membakar ban (sehingga jelaga menempeli dinding gua), mereka juga mematahkan stalagmite dan stalactite yang tak banyak itu.
Di mulut gua kami bertemu dua orang. Umur mereka kira-kira 50-an. Mereka berencana masuk gua dan memburu kelelawar. Mereka sempat meminjam head lamp kami. Untung kami telah masuk dua kali ke dalam sehingga kelelawar takut dan mencari tempat persembunyi lain yang tak terjangkau manusia. Aku yakin dua orang ini akan kecewa begitu mereka ada di dalam. Mereka pasti tak akan melihat rombongan besar kelelawar-kelelawar itu.
Sepulang ke tenda, waktu kami lewatkan dengan berbincang, makan dan minum. Kemudian, suasana menjadi begitu lengang. Sesekali suara-suara burung yang merdu turut mempercantik keadaan. Kami sempat memindahkan tenda karena area dimana kami mendirikan tendan kurang datar dan mudah tertembus basah. Sudah itu semua terasa nyaman dan tentram.

20 Juli 2014
Hari ini kami bangun agak kesiangan. Mungkin terbuai oleh lengangnya tempat itu. Atau juga terlena oleh siulan burung-burung. Setelah minum kopi hangat aku berjalan berkeliling area itu. Embun-embun yang bertengger di rerumputan pun menempel di celana panjangku. Kugunakan pula jalan-jalan pagi itu untuk memetik sayur pakis (Manado: paku) dan jamur yang menempel di pohon seho yang roboh. Namun sayangnya jamur terpaksa dibuang lantaran Della yakin bahwa itu beracun. Sebenarnya aku meragukan kesimpulannya. Tapi, aku juga tak mau memaksa. Resiko nanti bisa aku yang tanggung. Selanjutnya, kegiatan masak-masak. Perut kenyang. Habis itu bersih-bersih. Kami membawa turun sampah berupa kaleng (kaleng gas, ikan, dan minuman ringan) dan botol pecah bela sebanyak satu tas plastik besar. Karena beratnya kami secara bergantian membawanya.
Dengan perasaan puas kami pulang. Angin yang menyambar wajah ketika kami di atas sepeda motor turut menyempurnakannya. Semakin dekat Tataaran, kota Tondano, suasana di otak kembali  kacau. Muncul rasa muak. Apa lagi jalanan mulai penuh sesak. Bunyi klakson yang memekak telinga dan kendaraan yang tiba-tiba menyalib turut menyumbang rasa pastiu. Aku memutuskan untuk kembali ke Manado jam itu juga setelah mengantar Della di rumah kosnya. Tak mau aku bila kenyamanan terlalu cepat digeser oleh hinggar-binggar hari raya yang ribut. Aku baru sadar ternyata hari itu adalah hari raya Pengucapan Kabupaten Minahasa….hahahaha…Selamat Hari Pengucapan.

Senin, 04 Agustus 2014

KONTRADIKSI DI PUNCAK AMBANG



Sebuah laporan perjalanan ke gunung Ambang, Bongkudai Bolaang Mongodow
oleh Iswan Sual

Spekulasi. Ya itulah kami. Kami sudah mendapat informasi bahwa gunung Ambang untuk sementara waktu tertutup untuk pendakian bagi kelompok pencinta alam. Namun, entah roh apa yang merasuk kami sehingga tak peduli untung-rugi pada hari Minggu 27 Juli 2014 kami bersikukuh meluncur dengan dua sepeda motor ke desa Bongkudai Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur untuk mendaki gunung berapi yang bernama Ambang. Kantor Sangadi (kepada desa) yang terletak di sebelah kanan dari arah Modoinding, Minahasa Selatan menjadi tujuan awal kami. Kantor itu berdiri tepat di berhadapan dengan GPdI. Begitu kami turun dari sepeda motor seorang ibu pemilik warung kecil dekat situ langsung berujar bahwa sang kepala kampung sedang tak berada di tempat.
“Adoh mo kamana ngoni?”
“Mo nae Ambang tanta.”
“Ya….Sangadi nyanda ada. Mar, dia kwa cuma ja pesan, kalu nae ja bae-bae. Tu api, iko ja kase mati kalu mo turung.”
Percakapan dengan ibu pemilik warung itu sangat informatif. Dan merupakan kabar baik. Sudah logistik dipenuhi kami langsung memarkir sepeda motor dengan benar dan merenggut carrier lalu perlahan melangkah kea rah yang ditunjuk si ibu. Katanya kami mesti berjalan ke kiri dan jangan pernah mengambil arah kanan. Tak lama kemudian kami bertemu rombongan ibu-ibu yang sangat gamblang baru pulang dari pertemuan ibadah. Kata-kata dengan nada tinggi sempat keluar diperuntukkan kepada kami. Mereka mengkhawatirkan keselamatan kami.
“Hati-hati di sana neh. Jang ja lempar tu kawah. Soalnya sekarang dua siaga.”
Aku nyaris meledak karna menahan tawa. Barangkali yang dimaksudkan ibu itu adalah status gunung Ambang adalah siaga dua. Bukan dua siaga. Hampir sepanjang jalan kalimat keliru itu kami jadikan sebagai bahan guyonan. Bukan untuk meremehkan pesan ibu. Bukan juga untuk menghina tingkat pendidikannya. Tapi hanya sebagai pengusir lelah saat menapaki jalanan. Di simpang tiga kami belok ke kanan. Lalu berjalan lagi kurang lebih 100 meter. Di ujung pemukiman terdapat satu gubuk. Ada disitu tumpukan karung berisi pupuk. Disitu kami belok kiri. Anak-anak remaja lelaki yang tengah berbuat sepak bola sempat berteriak kecil untuk memperingatkan kami kami bahwa bahaya untuk melakukan pendakian. Kami hanya membalas dengan senyuman.
Semakin kami masuk ke perkebunan sayur yang elok dan teratur itu, rintik hujan semakin keras dan semakin banyak menabrak wajah. Kami berhenti dan memasang cover bag. Di belakang kami garis lengkung berwarna membentang dari langit hingga danau Moat. Seolah rintik dan pelangi itu sebuah sambutan untuk kami yang baru pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu. Jedah kami tidaklah lama. Kami meneruskan perjalanan hingga memasuki hutan. Rintik berubahnya menjadi hujan deras setelahnya. Tapi, kami tetap semangat. Mungkin aku yang paling berat bawaannya. Namun itu tak menghalangi ambisi untuk segera tiba di lokasi pendirian tenda.
Kurang lebih kami menempuh 100 meter jalan yang menanjak di hutan. Sudah itu jalanan berubah menjadi datar. Tak lama kemudian, perjalanan telah memakan waktu satu jam, kami menemukan persimpangan di area dimana kami sudah bisa melihat kepulan asap kawah. Kami pun mencurigai jalan yang berbelok ke kiri adalah jalan menuju base camp. Jufri Mogogibung dan Yanli Sengkey aku minta mengeceknya. Ternyata benar. Disitulah basecamp I. Di situ terdapat sumber air panas yang mengalir. Yanli yang paling gembira ketika menemukan area itu. Awalnya dia mencoba mengelabui kami dengan menginformasikan bahwa di area itu ada beberapa gadis yang sementara berkemah. Aku jadi penasaran bercampur kurang percaya.
Tak butuh waktu lama untuk mendirikan tenda. Selain tanahnya datar, juga bersih dari rerumputan. Rasa senang dan bangga karena telah mampu merapat ke puncak membuat kami saling mencandai satu dengan yang lain. Secara bergantian kami pergi ke sumber air panas untuk membersihkan diri. Teman lainnya pergi untuk menimbah air untuk memasak nasi. Dan yang mengherankan adalah air panas itu masih kami rebus untuk diminum. Suatu kebodohan barangkali. Atau bisa juga suatu kearifan. Kami merasa air panas karna alami itu masih perlu direbus demi kesehatan kami. Begitu malam kian senyap dingin menusuk pun hinggap. Sungguh sebuah kontradiksi berada di tempat itu. Areanya terlampau dingin namun di dekat situ terdapat sumber air panas.
Malam itu pun terlewati sembari badan menggigil dan gigi gemeletuk. Esoknya kami mencari puncak. Hanya butuh 10 menit hingga tiba di area kawah gunung berapi Ambang. Indah tapi menakutkan. Menantang tapi membahayakan. Bukan hanya karena jurang yang curam tapi juga karena asap vulkanik, dan bunyi gemuruh yang menyemprot keluar perut bumi. Bunyi itu menyerupai lolongan serigala di tengah hutan. Mencekam! Tapi Jufri bukanlah orang yang mudah takut dengan kondisi itu. Dia menyusuri punggung unta gunung Ambang. Dia bahkan turun dan bergaul rapat dengan semburan-semburan gas dan minyak panas di lokasi kawah. Serasa tak puas hatinya bila tak menyusuri tiap lekukan dan menyaksikan tiap letupan kecil Ambang.
Kami menghabiskan dua malam di basecamp. Dua malam itu menjadi malam yang menempelkan kesan dan ingatan yang tak terhapuskan. Kami turun gunung pada hari Selasa 29 Juli 2014. Cuaca begitu cerah hari itu. Beban berat di punggung terasa ringan. Bahkan kami turun sembari berlari. Sapaan para tukan kebun menambah nikmat penjelajahan kami. Danau Moat sekali lagi memperlihatkan wajahnya yang tengah senyum lebar. Decak kagum terus mengikuti sepanjang perjalanan pulang: Bongkudai, Modoinding, Tompaso Baru, Ranoiapo, Motoling dan Tondei. Kami sempat mampi di sebuah pasar swalayan di Tompaso baru. Disitu kami menimati kopi, teh dan nasi ayam goreng yang gurih.