Senin, 11 Agustus 2014

MENGECAP KEPERAWANAN LOLOMBULAN




(Laporan perjalanan ke puncak gunung Lolombulan 28-29 Juni 2014)
Perjalanan II


Oleh Iswan Sual



Perjalanan ke pegunungan Lolombulan kali ini adalah perjalanan kali kedua. Yang pertama kami lakukan pada 9-10  Mei 2013 dengan anggota 9 orang. Kesemuanya dari Tondei. Jalur yang kami lalui waktu itu ditempuh dari perkebunan Punti, wilayah kepolisian desa Tondei. Pada kesempatan ini kami mengambil jalur yang berbeda. Kami masuk hutan Lolombulan dari desa Raanan Baru. Yang masuk dalam tim pendakian kami juga bukan hanya dari desa Tondei. Saya, Jufri Mogogibung, Berry Tamba dan Ferlandi Wongkar adalah empat orang dari Tondei. Sedangkan Hesky Pangaila dan Vidi Wowor berasal dari Motoling. Barten Natan Kopalit berasal dari Kakaskasen Tomohon. Rivo berasal dari Kapataran, Tondano. Erick berasal dari Bahu, Manado. Dan Vini dan Christy, dua orang gadis, berasal dari Lompad Baru.
Dari Tondei kami menggunakan tiga sepeda motor. Milik saya, milik Ferlandi dan milik Jufri. Yanli Sengkey dan Rianto Wongkar turut mengantar kami ke desa Raanan Baru. Rianto sempat memimpin doa perjalanan kami sebelum berangkat dari Raanan Baru ke base camp atau Pos 1. Awalnya memang agak sedikit mengecewakan ketika kami tiba di lokasi yang disepakati menjadi titik pertemuan kami, kantor camat Motoling Barat. Begitu tim Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT) tiba, Vidi Wowor langsung menyampaikan maaf karena beberapa anggotanya di Komunitas Pecinta Alam Bebas (KPAB) Lolombulan Motoling membatalkan keikutsertaan mereka. Ada kesibukan dalam pesta pernikahan, katanya.
Selanjutnya, kami tinggal menunggu rombongan pendaki yang start dari Tomohon pimpinan Hesky Pangaila. Kami menghubungi telpon genggamnya. Lalu kami tahu bahwa ternyata mereka telah lama menunggu di rumah Hukum Tua Raanan Baru. Ternyata kami semua lumayan tepat waktu. Sesuai perjanjian kami bertemu di kantor camat pukul 03.00 sore. Ketika bertemu rombongan Hesky sempat terjadi basa-basi untuk saling menyesuaikan diri. Sebab ada lima orang yang belum kami kenal. Kami saling jabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Tak butuh waktu lama kami sudah bisa saling akrab. Canda tawa di antara kami langsung meledak dan menghancurkan dinding penyekat kekakuan.
Halaman rumah dan beberapa kursi dipinjamkan oleh tuan rumah yang ada di sebelah kantor camat itu. Bapak dan ibunya ramah dan mau menerima kami. Percakapan hangat berlangsung singkat dan turut menambah semangat mendaki kami. Kurang lebih 15 menit kami disitu. Setelah kenyaman diantara satu sama lain telah terjalin kami yang berjumlah 11 orang memutuskan untuk memulai perjalanan. Kami mengambil jalan baru menuju bak air Raanan Baru. Adalah semua sistem perairan yang modern dan nampak sangat bagus sekali. Bak penampungan air yang besar, dua gedung dengan atap bercat biru berdiri megah. Areanya juga dipagari kawat yang kokoh. Kami berbelok ke kiri sebelum menyentuh pagar area bak air itu. Melewati jalan sedikit miring. Di tepi jalan dua ekor sapi tengah menikmati rumput palango yang subur. Sapi-sapi itu gemuk perawakannya. Dekat situ ada sepasang suami istri sedang menurunkan kopra dari pakopra’an. Tangan dan wajah mereka hitam oleh jelaga dan arang. Sempat pula kami saling melempar gurauan. Ada satu dua orang dari kami yang diijinkan mengambil kompra untuk dimakan. Jalanan yang baru diguyur hujan langsung mengubah warna celana dan pakaian kami. Aku beberapa kali terperosok ke dalam kubangan air  dan lumpur. Barangkali kejadian itu dirasa lucu sehingga gelak tawa pun pecah tatkala aku berteriak sesal oleh karena terperosok. Ada yang tawanya terumbar. Ada juga yang keluar dalam rupa cekikian. Sedikit tertahan tapi bisa didengar.
“Pe soe skali eh! Orang taisi di pece, ngoni cuma tatawa. Emplas bakutulung angka,” secara spontan yang dengar tertawa dann kian menjadi.
Di sepanjang jalan tanaman paku, orang Indonesia menyebutnya pakis, yang subur, menggoda langkah-langkah aku dan Jufri. Kami pun berinisiatif memetik pakis-pakis itu. Kami tak tahan dirayu oleh bayangan kelezatannya bila telah dimasak. Pohon kelapa dan cengkeh terdapat dimana-mana. Kadang-kadang terlihat juga pohon coklat yang telah berwarna kuning lantaran sudah matang. Saat kami akan memasuki hutan, Vidi langsung menginformasikan bahwa kami akan mendirikan tenda di situ. Sesuai kesepakatan kami, sewaktu masih di kantor camat, bahwa kami belum akan meneruskan perjalanan ke puncak hari itu. Hari telah dekat malam soalnya. Kami mesti menghabiskan malam di area yang dianggap vidi cocok dijadikan sebagai base camp. Disitu terdapat air mengalir yang jernih. Ada bak air yang lebih kecil yang yang kami lihat sebelumnya. Rupanya bak itu adalah bak air lama sumber air orang Raanan Baru. Saya dan Vidi mengecek lokasi di dekat air. Dan kami menemukan area yang datar dan dekat jalan lebar. Jalan bekas orang menarik kayu-kayu yang ditebang di hutan. Di pinggiran bak itu terdapat sisa peralatan pengolahan sagu. Dan yang menarik adalah bak itu memiliki pancuran air yang besar. Wah, pasti tempat itu akan jadi tempat sempurna untuk menginap malam ini, begitu celetukku dalam hati.
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk mendirikan empat tenda di lokasi itu.  Tiga tenda dengan kapasitas dua orang. Dan satu tenda dengan kapasitas empat orang. Pembersihan area dari rumput tak menguras banyak tenaga. Namun, setelah selesai hujan mengguyur kami. Siraman hujan itu kuanggap sebagai sapaan lembut Lolombulan terhadap kami para pecinta alam. Memang, hujan itu menambah keakraban di antara kami. Karena hujan itu kami jadi saling bahu membahu memasang terpal dan flysheet untuk melindungi tenda dari basah. H
ujan itu pula yang mendorong kami supaya segera memasak air untuk membuat kopi hangat. Dan, sembari minum kopi, percakapan akrab pun hadir di antara kami.
Ketika malam datang suasana sedikit mencekam. Aroma angker dan mistis tercium jelas. Sudah beberapa kali tenda kami dilempar. Dua orang di antara tim mengaku melihat lo’lok, makhluk kecil mirip manusia yang dipercaya orang Minahasa  punya kemampuan terbang atau melompat dari satu pohon ke pohon lain. Konon, makhluk ini sering membawa manusia ke dunia mereka. Dua teman dari tim kami menyebutkan bahwa mereka masing-masing melihat makhluk itu bertengger di daun pohon dekat bak air dan duduk di batu di dekat pancuran. Suasana semakin mencekam tatkalah seorang gadis kesurupan. Ini yang membuat kami tak bisa tidur nyenyak waktu itu. Baru kira-kira pukul 3 kami bisa terlelap. Lain halnya dengan Jufri dan Berry, mereka seolah hilang ditelan tenda sepanjang malam. Besoknya kami sama-sama tahu ternyata lemparan pada tenda yang kami dengar semalam sebelumnya adalah buah-buah kecil yang jatuh dari pohon besar yang tak jauh dari situ.
Tidur kami yang singkat terputus saat terdengar suara gaduh dua gadis berbincang penuh energi di dekat pancuran. Sudah bisa diduga siapa mereka. Mereka mempergunakan kantuk berat kami untuk membersihkan badan. Percakapan panjang mereka yang menggebu-gebu akhirnya membangunkan kami sepenuhnya. Apalagi ketika teman-teman lain disuruh keluar dari tenda lantaran para putri cantik itu hendak menggunakan tenda untuk bertukar pakaian. Saya yang berdiam di tenda sebelah pun bangun dan berjalan menyusuri perkebunan sekitar untuk menghirup udara pagi dan menangkap sinar mentari sembari memetik sayur pakis yang bertebaran dimana-mana. Selanjutnya, waktu diisi dengan percakapan, minum kopi susu dan makan siang serta packing sebagai persiapan menuju puncak kuntung Lolombulan. Gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dpl.
Dari base camp kami menuju ke perkebunan yang terdapat banyak tanaman coklat. Dari situ kami masuk hutan dengan menanjakki kemiringan sepanjang 100 meter. Sudah itu kami mengikuti punggung kuda, area yang sempit dimana kiri kanannya terdapat jurang. Semakin kami masuk ke dalam hutan, semakin jelas jalannya. Lintah-lintah pun kian berani melompat, menempel dan menghisap darah. Kami menemui jalur tukang captikus. Kami mengambil jalan kiri. Lalu kanan dan menanjak lagi. Kami senantiasa mengikuti jalur yang ditandai tali rafia merah dan biru yang diikat melingkar pada pohon. Di area dimana terdapat longsor yang terletak disebelah kanan kami berhenti sejenak. Cuka yang Vidi dapatkan dari tampa bacaptikus diteteskan pada linta-linta yang sudah gendut mendadak karena tubuh mereka penuh darah. Aku terheran-heran melihat kenyataan bahwa cuka itu mampu membuat linta-linta itu jatuh ke tanah. Di area longsor itu kami sempat mengambil foto dengan latar belakang ujung gunung Soputan. Area itu memang sedikit terbuka. Dan barangkali area itu satu-satunya  di gunung Lolombulan yang terbuka seperti itu. Lolombulan memang masih merupakan gunung perawan alias masih terjaga baik dibanding hutan Kalabat, Soputan dan Tampusu. Memang penebangan marak terjadi. Tapi keadaannya tak separah hutan-hutan lainnya di Sulawesi Utara. Gunung Lolombulan juga masih sangat jarang didaki oleh kelompok-kelompok pecinta alam.
Dari area longsor itu, kelak kami menyebutnya Pos Pemandangan (Panorama), kami berjalan menyusuri jalan yang tak sulit hingga kami tiba di area datang yang sangat luas. Kira-kira beberapa hektar luasnya. Area itu terletak di antara dua gunung. Ibaratnya kami berada di antara buah dada perempuan. Dekat situ di utara terdapat pancuran dengan air yang sangat sedikit. Kami memilih untuk menanjak payudara di sebelah kiri. Karena itulah yang tertinggi. Kurang lebih 15 menit perjalanan kami ke puncak. Pemandangan desa-desa di kecamatan Tenga sempat tersungguhkan di depan mata setiap kami. Hanya saja pohon-pohon sedikit pelit memberi celah untuk melihat pemandangan yang lebih luas lagi. Dari situ juga kami bisa melihat desa Tiniawangko. Kami tiba di puncak pukul 12.00.  Di puncak itu kami tak bisa melihat pemandangan sekitar yang lebih rendah. Desa kami, Tondei tak bisa tertangkap mata. Di puncak terdapat lubang panjang berbentuk huruf L. Ada informasi yang mengatakan bahwa sebenarnya lubang L itu adalah paal buatan Belanda untuk menandakan ketinggian gunung. Banyak orang bilang, orang-orang tua di desa kami, bahwa di puncak Lolombulan juga terdapat sebuah bak besar yang sudah dililiti akar dan lumput sehingga tak terlihat.
Saya dan Jufri termasuk orang yang tak puas pada waktu itu. Mencapai puncak taklah memberi rasa bahagia yang penuh. Kami butuh pemandangan. Akhirnya, saya dan Jufri berkeliling di sekitar situ untuk mencari area terbuka dimana kami bisa menikmati pemandangan. Kami tak menemukannya. Aku memutuskan untuk memanjat pohon. Barulah aku bisa melihat ujung desa Tiniawangko dan keseluruhan dusun jauh Pelita, bagian dari desa Tondei. Keseluruhan desa kami tak terjangkau mata. Dihalangi kuntung Kantil, Rakowulan dan Lincewulan. Saya sempat mengambil berberapa gambar. Demi itu tangan saya sempat tertusuk dan terjepit duri rotan. Jufri juga ikut memanjat pohon begitu aku melompat turun. Ferlandi juga menyusul saya dan Jufri. Tapi dia tak tertarik melihat pemandangan dari atas pohon. Tak lama sesudah itu kami pun bergabung dengan rombongan yang masih saja berfoto ria di sekitar lubang L. Jam 1 kami turun dari puncak dengan melewati jalan yang sama. Sempat saya dan Berry bertemu cacing raksasa. Awalnya kami mengira itu seekor ular. Setelah kami perhatikan dengan seksama dan menyentuhnya, baru kami tahu itu adalah cacing. Ternyata hutan Lolombulan tak hanya identik dengan linta, tapi juga cacing raksasa. Ketika kami tiba di tenda nasi goreng telah dibuatkan untuk kami oleh Hesky. Tapi tidak cukup untuk semua. Masih perlu masak lagi. Dia memang tidak ikut bersama kami ke puncak demi menjaga tenda dan peralatan lainnya. Katanya situasi menjadi aneh ketika dia sendirian. Ada suara-suara yang memanggil.
Setelah makan siang kami meminta ijin Vidi agar kami dapat menyisipkan acara Diksar Materi Basah KPAT dan Pelantikan dua anggota baru. Kami perlu minta ijinnya karena kami sadar bahwa kegiatan pendakian ke Lolombulan adalah kegiatan KPAB Lolombulan Motoling. Status kami hanyalah undangan. Jadi, kami perlu menerapkan sopan santun. Berry Tamba dan Ferlandi Wongkar resmi dilantik di base camp itu. Teman-teman dari komunitas lain turut membantu memberi pemahaman kepada dua anggota baru itu. Begitu semua tuntas kami pun angkat kaki dari situ. Di kantor camat Yanli dan Rianto sudah menunggu dengan sabar. Rupanya kami agak terlambat. Jam 3 lewat baru kami tiba disitu. Tak lama kami saling pamit lalu berpisah. Perasaan senang dan puas mengikuti hingga kami tiba di rumah. Cerita tentang pengalaman itu kembali diceritakan begitu kami sampai. Kami menceritakannya dengan bangga. Layaknya para waraney (pahlawan) Minahasa yang, baru pulang dari medan perang, bercerita pada anak-anak mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar