Selasa, 05 Agustus 2014

DUA MALAM DI WILAYAH PEMUKIMAN OPO RUMENGAN



[Catatan perjalanan ke gunung Mahawu dan gua Susuripen Tomohon]
Oleh Iswan Sual


17 Juli 2014
Baru kali ini saya dan teman-teman mengadakan perjalanan yang sifatnya adventure dengan menggunakan kendaraan sendiri. Biasanya kami hitchhiking alias ba-D.O. Dua sepeda motor membawa empat orang menuju puncak gunung Mahawu. Dulunya gunung ini bernama Rumengan. Konon, salah seorang keturunan Toar dan Lumimuut yang bernama Rumengan dulunya bermukim di gunung ini. Kami berencana memarkir sepeda motor RX King dan Karisma itu di sekitar pos polisi hutan. Namun sayangnya pos itu tak berpenghuni. Kami pun langsung berbalik arah ke area yang sangat baik panoramanya. Dari situ kami dapat menikmati pemandangan kota Tondano. Di dekat sabuah besar yang terletak di pinggir jalan kami mendirikan tenda mungil kami.
Terpaan angin yang menusuk tulang memaksa kami membuat api unggun. Adhi Bella paling jago dalam soal itu. Dia rela sebagian badan kuyup oleh embun di rerumputan demi mencari kayu bakar. Minuman hangat juga turut memberi kelegaan sesaat. Sayangnya, semakin larut malam semakin tebal kabut menutup pemandangan di depan. Kami  menyerbu tenda mungil hijau hitamku dan sontak bersembunyi dalam selimut yang hanya satu. Yang malang adalah Adhi. Dia hanya bercelana pendek dan tak membawa pakaian hangat lain yang tebal. Meski kami berempat sangat berdempetan dalam tenda itu rasa hangat tak mau datang. Padahal biasanya kami jadi kegerahan bila jumlah manusia dalam tenda sudah seperti itu. Kami pun bangun lagi dan merebus air untuk membuat kopi panas. Rasa hangat hanya sekejab kami dapat. Habis itu kami berebutan lagi masuk dalam tenda dan menggigil.  Lalu perlahan kesadaran mulai hilang….
Jam tiga pagi tiba-tiba raungan keras sepeda motor mendadak mendekat. Lewat di tenda kami. Lalu berhenti kurang lebih 20 meter dari kami. Mungkin ada empat sepeda motornya. Dan kedengaran mereka itu adalah anak-anak muda yang datang berpasangan untuk bersenang-senang. Bicara mereka sangat gaduh. Sumpah serapah menyembur dari mulut mereka
. Dari logat aku bisa simpulkan mereka datang dari Tondano. Mungkin saja aku keliru. Tapi aku yakin itu. Tiba-tiba seorang gadis berteriak histeris. Tak tahu mengapa. Kian lama kian menjadi gadis itu. Rupanya kesimpulanku sama dengan mereka. Mereka diganggu makluk gaib, pikirku. Itu jelas dari komentar yang mereka lemparkan saat pulang melewati tenda kami yang berdiri persis di tepi jalan.
“Oh ini karna manusia babi-babi ini kwa sampe dia babataria bagini!”
Agak geram juga mendengar kalimat itu. Heran. Kenapa mereka sampai pada kesimpulan bahwa kamilah penyebab mereka diganggu makhluk halus. Barangkali masalahnya bukan pada kami melainkan pada mereka lantaran datang ke area itu seraya membuat gaduh. Tak ada sopan santunnya. Mereka kira hanya manusia satu-satunya makhluk yang berdiam disitu. Begitu mereka pergi aku bangun dan menyalahkan konfor dan merebus air. Diikuti oleh Yanli dan Adhi. Sedangkan Della lelap di dalam sleeping bag-nya. Ternyata aku bukan satu-satunya orang di dalam tenda yang mendengar ulah komplotan anak muda beberapa menit lalu.

19 Juli 2014
Kami bangun saat matahari belum menampakkan diri. Udara dingin masih menusuk sum-sum. Tetapi, kami nekad. Tak mau kami melewati pemandangan wanua Tondano di saat pagi. Tambah lagi, kami mesti bergegas pergi sebelum pemilik kebun datang ke tempat di mana kami mendirikan tenda.
Sayangnya pemandangan pagi yang kami harapkan tak muncul. Kabut putih menghalangi penglihatan. Namun, puncak gunung Klabat dan daerah Tondano Pante bisa terlihat. Kami hanya mengambil satu atau dua foto sahaja. Sudah itu kami menanjak dengan sepeda motor ke pos polisi hutan. Saat tiba belum ada juga penjaganya. Palang masih merintang. Dengan agak enggan kami menerobos masuk area yang masih dihalangi tersebut. Tampak di bagian kanan, sedang terjadi pembangunan jalan setapak menuju hutan. Tak lama kemudian satu rombongan orang datang. Sepertinya mereka berasal dari luar daerah. Tak lama kami berbincang. Lalu, istirahat sejenak di sebuah pondok kecil sembari melempar pandangan ke rumah kayu di depan kami. Rumah khas Minahasa. Rumah panggung yang sudah banyak diminati di luar negeri. Perlahan kami menapaki anak tangga satu demi satu menuju ke puncak Mahawu. Sesekali berhenti dan mengambil foto. Yang menarik dari gunung Mahawu adalah ketiadaan ujung gunungnya. Ujungnya telah ludes karena proses vulkanik dan telah menjadi lobang besar yang dalam. Sering kami menyebutnya kawah. Kami menggitari pinggiran kawah itu sehingga peluh-peluh besar keluar dari lubang-lubang tubuh kami.
Tak lama kemudian langit menjadi terang benderang. Sengatan mentari mulai buat kami benaut. Di sebelah kanan gunung berdiri kokoh gunung Lokon. Penampilannya anggun. Kelihatan sangat bersemangat. Karena selalu menjadi yang pertama disambut sang fajar. Aku membayangkan dia sedang tiki pinggang sambil mengeluarkan asap tebal. Di depan terhampar pemandangan kota Manado, laut dan pulau Bunaken dan Manado Tua. Setelah puas, kami beristirahat. Kami bertemu tiga atau mungkin empat rombongan orang luar negeri. Ada yang dari Amerika, Jerman dan lainnya. Kurang lebih 20 0rang banyaknya. Aku bisa membedakan mereka dari bahasa mereka yang tertutur. Wisatawan lokal sedikit. Orang setempat memang biasanya kurang berminat melihat matahari terbit di Mahawu rupanya.
Sebelum turun kami sempat memungut empat karung sampah. Butuh kira-kira dua jam untuk selesaikan pembersihan disitu. Umumnya sampah terdiri dari sampah plastic: gelas, kaleng, botol, pembungkus permen dan kemasan makanan ringan. Memang kedatangan kami ke gunung ini adalah bagian dari pemberian pemahaman tentang kepedulian terhadap lingkungan kepada calon anggota, Adhi Bella. Dia sudah menyatakan diri hendak bergabung dalam Kelompok Pecinta Alam kami, KPAT. Kami tak mau berteori. Kami perlu memberi teladan dan contoh konkrit. Ada beberapa orang yang memberi apresiasi terhadap upaya kami. Karena kagumnya, barangkali, sampai ada yang meminta supaya berfoto bersama. Mereka juga tertarik untuk bertanya nama organisasi kami.
Kira-kira jam 12  kami tiba di basecamp gua Susuripen. Hanya butuh beberapa menit dari puncak Mahawu untuk bisa sampai ke area gua. Jalan masuknya dekat dengan pos polisi di persimpangan jalan menuju  Rurukan. Dari pos terletak di sebelah kiri. Ada penunjuknya. Mulanya agak sedikit menanjak. Kurang lebih 30 meter jauhnya. Tapi bisa ditempuh dengan sepeda motor. Di tempat agak datar kami memarkir sepeda motor kami. Dari situ kami berjalan menurun hingga area basecamp. Jaraknya hanya 100 meter. Tak ada seorang pun di sana. Hanya bekas perapian yang baru dipadamkan. Memang semalam sebelumnya kami sempat melihat dua orang lelaki sedang menanjak menuju gua. Kami sempat melihat mereka di sekitar pancuran, kebun sayur milik warga Tomohon. Sebelum tenda berdiri saya langsung mengajak Adhi Bella menurun dan masuk ke dalam gua. Dia terlihat begitu bersemangat dan berani. Ruang gelap dan sempit serta bunyi kelelawar yang menyeramkan tak menyurutkan kehendaknya menyusuri gua.
Begitu kami tiba kembali di basecamp, tenda telah berdiri dan makanan pun telah hampir siap disantap. Sudah itu kami makan dan tidur sejenak. Tiba-tiba hujan mengguyur. Lalu berhenti. Saat itulah saya mengajak Yanli Sengkey masuk gua. Gua Susuripen (Tontemboan: persembunyian) memiliki dua chamber (ruang) yang luas. Panjangnya kurang lebih 30 meter. Susuripen termasuk gua alam yang tercipta oleh proses vulkanik. Della Palapa tak tertarik menyusurinya. Mungkin juga karena takut. Saya dan Yanli menghabiskan satu jam di dalam gua. Di dalam kami melihat jejak manusia. Ada jejak yang datang hanya untuk berkunjung. Ada jejak karena kepentingan ritual/ibadah Minahasa. Dan ada juga yang datang sambil merusak. Ban-ban bekas yang dibakar dalam gua sangat merusak pemandangan dan kehidupan makhluk di dalam. Disinilah saya berpikir bahwa orang-orang yang datang itu bukan kelompok pecinta alam. Mereka hanya petualang yang sama sekali tak peduli dengan alam. Bukan hanya membakar ban (sehingga jelaga menempeli dinding gua), mereka juga mematahkan stalagmite dan stalactite yang tak banyak itu.
Di mulut gua kami bertemu dua orang. Umur mereka kira-kira 50-an. Mereka berencana masuk gua dan memburu kelelawar. Mereka sempat meminjam head lamp kami. Untung kami telah masuk dua kali ke dalam sehingga kelelawar takut dan mencari tempat persembunyi lain yang tak terjangkau manusia. Aku yakin dua orang ini akan kecewa begitu mereka ada di dalam. Mereka pasti tak akan melihat rombongan besar kelelawar-kelelawar itu.
Sepulang ke tenda, waktu kami lewatkan dengan berbincang, makan dan minum. Kemudian, suasana menjadi begitu lengang. Sesekali suara-suara burung yang merdu turut mempercantik keadaan. Kami sempat memindahkan tenda karena area dimana kami mendirikan tendan kurang datar dan mudah tertembus basah. Sudah itu semua terasa nyaman dan tentram.

20 Juli 2014
Hari ini kami bangun agak kesiangan. Mungkin terbuai oleh lengangnya tempat itu. Atau juga terlena oleh siulan burung-burung. Setelah minum kopi hangat aku berjalan berkeliling area itu. Embun-embun yang bertengger di rerumputan pun menempel di celana panjangku. Kugunakan pula jalan-jalan pagi itu untuk memetik sayur pakis (Manado: paku) dan jamur yang menempel di pohon seho yang roboh. Namun sayangnya jamur terpaksa dibuang lantaran Della yakin bahwa itu beracun. Sebenarnya aku meragukan kesimpulannya. Tapi, aku juga tak mau memaksa. Resiko nanti bisa aku yang tanggung. Selanjutnya, kegiatan masak-masak. Perut kenyang. Habis itu bersih-bersih. Kami membawa turun sampah berupa kaleng (kaleng gas, ikan, dan minuman ringan) dan botol pecah bela sebanyak satu tas plastik besar. Karena beratnya kami secara bergantian membawanya.
Dengan perasaan puas kami pulang. Angin yang menyambar wajah ketika kami di atas sepeda motor turut menyempurnakannya. Semakin dekat Tataaran, kota Tondano, suasana di otak kembali  kacau. Muncul rasa muak. Apa lagi jalanan mulai penuh sesak. Bunyi klakson yang memekak telinga dan kendaraan yang tiba-tiba menyalib turut menyumbang rasa pastiu. Aku memutuskan untuk kembali ke Manado jam itu juga setelah mengantar Della di rumah kosnya. Tak mau aku bila kenyamanan terlalu cepat digeser oleh hinggar-binggar hari raya yang ribut. Aku baru sadar ternyata hari itu adalah hari raya Pengucapan Kabupaten Minahasa….hahahaha…Selamat Hari Pengucapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar