[Catatan perjalanan ke gunung Mahawu dan gua
Susuripen Tomohon]
Oleh Iswan
Sual
17 Juli 2014
Baru kali
ini saya dan teman-teman mengadakan perjalanan yang sifatnya adventure dengan menggunakan kendaraan
sendiri. Biasanya kami hitchhiking
alias ba-D.O. Dua sepeda motor membawa empat orang menuju puncak gunung Mahawu.
Dulunya gunung ini bernama Rumengan. Konon, salah seorang keturunan Toar dan
Lumimuut yang bernama Rumengan dulunya bermukim di gunung ini. Kami berencana
memarkir sepeda motor RX King dan Karisma itu di sekitar pos polisi hutan.
Namun sayangnya pos itu tak berpenghuni. Kami pun langsung berbalik arah ke
area yang sangat baik panoramanya. Dari situ kami dapat menikmati pemandangan
kota Tondano. Di dekat sabuah besar yang terletak di pinggir jalan kami
mendirikan tenda mungil kami.
Terpaan
angin yang menusuk tulang memaksa kami membuat api unggun. Adhi Bella paling
jago dalam soal itu. Dia rela sebagian badan kuyup oleh embun di rerumputan
demi mencari kayu bakar. Minuman hangat juga turut memberi kelegaan sesaat. Sayangnya,
semakin larut malam semakin tebal kabut menutup pemandangan di depan. Kami menyerbu tenda mungil hijau hitamku dan
sontak bersembunyi dalam selimut yang hanya satu. Yang malang adalah Adhi. Dia
hanya bercelana pendek dan tak membawa pakaian hangat lain yang tebal. Meski
kami berempat sangat berdempetan dalam tenda itu rasa hangat tak mau datang.
Padahal biasanya kami jadi kegerahan bila jumlah manusia dalam tenda sudah seperti
itu. Kami pun bangun lagi dan merebus air untuk membuat kopi panas. Rasa hangat
hanya sekejab kami dapat. Habis itu kami berebutan lagi masuk dalam tenda dan
menggigil. Lalu perlahan kesadaran mulai
hilang….
Jam tiga
pagi tiba-tiba raungan keras sepeda motor mendadak mendekat. Lewat di tenda
kami. Lalu berhenti kurang lebih 20 meter dari kami. Mungkin ada empat sepeda
motornya. Dan kedengaran mereka itu adalah anak-anak muda yang datang
berpasangan untuk bersenang-senang. Bicara mereka sangat gaduh. Sumpah serapah
menyembur dari mulut mereka
. Dari logat aku bisa simpulkan mereka datang dari
Tondano. Mungkin saja aku keliru. Tapi aku yakin itu. Tiba-tiba seorang gadis
berteriak histeris. Tak tahu mengapa. Kian lama kian menjadi gadis itu. Rupanya
kesimpulanku sama dengan mereka. Mereka diganggu makluk gaib, pikirku. Itu
jelas dari komentar yang mereka lemparkan saat pulang melewati tenda kami yang
berdiri persis di tepi jalan.
“Oh ini
karna manusia babi-babi ini kwa sampe dia babataria bagini!”
Agak geram
juga mendengar kalimat itu. Heran. Kenapa mereka sampai pada kesimpulan bahwa
kamilah penyebab mereka diganggu makhluk halus. Barangkali masalahnya bukan
pada kami melainkan pada mereka lantaran datang ke area itu seraya membuat
gaduh. Tak ada sopan santunnya. Mereka kira hanya manusia satu-satunya makhluk
yang berdiam disitu. Begitu mereka pergi aku bangun dan menyalahkan konfor dan
merebus air. Diikuti oleh Yanli dan Adhi. Sedangkan Della lelap di dalam sleeping bag-nya. Ternyata aku bukan
satu-satunya orang di dalam tenda yang mendengar ulah komplotan anak muda
beberapa menit lalu.
19 Juli 2014
Kami bangun
saat matahari belum menampakkan diri. Udara dingin masih menusuk sum-sum.
Tetapi, kami nekad. Tak mau kami melewati pemandangan wanua Tondano di saat
pagi. Tambah lagi, kami mesti bergegas pergi sebelum pemilik kebun datang ke
tempat di mana kami mendirikan tenda.
Sayangnya
pemandangan pagi yang kami harapkan tak muncul. Kabut putih menghalangi
penglihatan. Namun, puncak gunung Klabat dan daerah Tondano Pante bisa
terlihat. Kami hanya mengambil satu atau dua foto sahaja. Sudah itu kami
menanjak dengan sepeda motor ke pos polisi hutan. Saat tiba belum ada juga
penjaganya. Palang masih merintang. Dengan agak enggan kami menerobos masuk
area yang masih dihalangi tersebut. Tampak di bagian kanan, sedang terjadi
pembangunan jalan setapak menuju hutan. Tak lama kemudian satu rombongan orang
datang. Sepertinya mereka berasal dari luar daerah. Tak lama kami berbincang.
Lalu, istirahat sejenak di sebuah pondok kecil sembari melempar pandangan ke
rumah kayu di depan kami. Rumah khas Minahasa. Rumah panggung yang sudah banyak
diminati di luar negeri. Perlahan kami menapaki anak tangga satu demi satu menuju
ke puncak Mahawu. Sesekali berhenti dan mengambil foto. Yang menarik dari
gunung Mahawu adalah ketiadaan ujung gunungnya. Ujungnya telah ludes karena
proses vulkanik dan telah menjadi lobang besar yang dalam. Sering kami
menyebutnya kawah. Kami menggitari pinggiran kawah itu sehingga peluh-peluh
besar keluar dari lubang-lubang tubuh kami.
Tak lama
kemudian langit menjadi terang benderang. Sengatan mentari mulai buat kami benaut. Di sebelah kanan gunung berdiri
kokoh gunung Lokon. Penampilannya anggun. Kelihatan sangat bersemangat. Karena
selalu menjadi yang pertama disambut sang fajar. Aku membayangkan dia sedang tiki pinggang sambil mengeluarkan asap
tebal. Di depan terhampar pemandangan kota Manado, laut dan pulau Bunaken dan
Manado Tua. Setelah puas, kami beristirahat. Kami bertemu tiga atau mungkin
empat rombongan orang luar negeri. Ada yang dari Amerika, Jerman dan lainnya.
Kurang lebih 20 0rang banyaknya. Aku bisa membedakan mereka dari bahasa mereka
yang tertutur. Wisatawan lokal sedikit. Orang setempat memang biasanya kurang
berminat melihat matahari terbit di Mahawu rupanya.
Sebelum
turun kami sempat memungut empat karung sampah. Butuh kira-kira dua jam untuk
selesaikan pembersihan disitu. Umumnya sampah terdiri dari sampah plastic:
gelas, kaleng, botol, pembungkus permen dan kemasan makanan ringan. Memang
kedatangan kami ke gunung ini adalah bagian dari pemberian pemahaman tentang
kepedulian terhadap lingkungan kepada calon anggota, Adhi Bella. Dia sudah
menyatakan diri hendak bergabung dalam Kelompok Pecinta Alam kami, KPAT. Kami
tak mau berteori. Kami perlu memberi teladan dan contoh konkrit. Ada beberapa
orang yang memberi apresiasi terhadap
upaya kami. Karena kagumnya, barangkali, sampai ada yang meminta supaya berfoto
bersama. Mereka juga tertarik untuk bertanya nama organisasi kami.
Kira-kira
jam 12 kami tiba di basecamp gua Susuripen. Hanya butuh beberapa menit dari puncak
Mahawu untuk bisa sampai ke area gua. Jalan masuknya dekat dengan pos polisi di
persimpangan jalan menuju Rurukan. Dari
pos terletak di sebelah kiri. Ada penunjuknya. Mulanya agak sedikit menanjak.
Kurang lebih 30 meter jauhnya. Tapi bisa ditempuh dengan sepeda motor. Di
tempat agak datar kami memarkir sepeda motor kami. Dari situ kami berjalan
menurun hingga area basecamp.
Jaraknya hanya 100 meter. Tak ada seorang pun di sana. Hanya bekas perapian
yang baru dipadamkan. Memang semalam sebelumnya kami sempat melihat dua orang
lelaki sedang menanjak menuju gua. Kami sempat melihat mereka di sekitar
pancuran, kebun sayur milik warga Tomohon. Sebelum tenda berdiri saya langsung
mengajak Adhi Bella menurun dan masuk ke dalam gua. Dia terlihat begitu
bersemangat dan berani. Ruang gelap dan sempit serta bunyi kelelawar yang
menyeramkan tak menyurutkan kehendaknya menyusuri gua.
Begitu kami
tiba kembali di basecamp, tenda telah
berdiri dan makanan pun telah hampir siap disantap. Sudah itu kami makan dan
tidur sejenak. Tiba-tiba hujan mengguyur. Lalu berhenti. Saat itulah saya
mengajak Yanli Sengkey masuk gua. Gua Susuripen (Tontemboan: persembunyian)
memiliki dua chamber (ruang) yang
luas. Panjangnya kurang lebih 30 meter. Susuripen termasuk gua alam yang
tercipta oleh proses vulkanik. Della Palapa tak tertarik menyusurinya. Mungkin
juga karena takut. Saya dan Yanli menghabiskan satu jam di dalam gua. Di dalam
kami melihat jejak manusia. Ada jejak yang datang hanya untuk berkunjung. Ada
jejak karena kepentingan ritual/ibadah Minahasa. Dan ada juga yang datang
sambil merusak. Ban-ban bekas yang dibakar dalam gua sangat merusak pemandangan
dan kehidupan makhluk di dalam. Disinilah saya berpikir bahwa orang-orang yang
datang itu bukan kelompok pecinta alam. Mereka hanya petualang yang sama sekali
tak peduli dengan alam. Bukan hanya membakar ban (sehingga jelaga menempeli
dinding gua), mereka juga mematahkan stalagmite dan stalactite yang tak banyak
itu.
Di mulut
gua kami bertemu dua orang. Umur mereka kira-kira 50-an. Mereka berencana masuk
gua dan memburu kelelawar. Mereka sempat meminjam head lamp kami. Untung kami telah masuk dua kali ke dalam sehingga
kelelawar takut dan mencari tempat persembunyi lain yang tak terjangkau
manusia. Aku yakin dua orang ini akan kecewa begitu mereka ada di dalam. Mereka
pasti tak akan melihat rombongan besar kelelawar-kelelawar itu.
Sepulang ke
tenda, waktu kami lewatkan dengan berbincang, makan dan minum. Kemudian, suasana
menjadi begitu lengang. Sesekali suara-suara burung yang merdu turut
mempercantik keadaan. Kami sempat memindahkan tenda karena area dimana kami
mendirikan tendan kurang datar dan mudah tertembus basah. Sudah itu semua
terasa nyaman dan tentram.
20 Juli 2014
Hari ini
kami bangun agak kesiangan. Mungkin terbuai oleh lengangnya tempat itu. Atau
juga terlena oleh siulan burung-burung. Setelah minum kopi hangat aku berjalan
berkeliling area itu. Embun-embun yang bertengger di rerumputan pun menempel di
celana panjangku. Kugunakan pula jalan-jalan pagi itu untuk memetik sayur pakis
(Manado: paku) dan jamur yang menempel di pohon seho yang roboh. Namun sayangnya jamur terpaksa dibuang lantaran
Della yakin bahwa itu beracun. Sebenarnya aku meragukan kesimpulannya. Tapi,
aku juga tak mau memaksa. Resiko nanti bisa aku yang tanggung. Selanjutnya,
kegiatan masak-masak. Perut kenyang. Habis itu bersih-bersih. Kami membawa
turun sampah berupa kaleng (kaleng gas, ikan, dan minuman ringan) dan botol
pecah bela sebanyak satu tas plastik besar. Karena beratnya kami secara
bergantian membawanya.
Dengan
perasaan puas kami pulang. Angin yang menyambar wajah ketika kami di atas
sepeda motor turut menyempurnakannya. Semakin dekat Tataaran, kota Tondano, suasana
di otak kembali kacau. Muncul rasa muak.
Apa lagi jalanan mulai penuh sesak. Bunyi klakson yang memekak telinga dan
kendaraan yang tiba-tiba menyalib turut menyumbang rasa pastiu. Aku memutuskan untuk kembali ke Manado jam itu juga setelah
mengantar Della di rumah kosnya. Tak mau aku bila kenyamanan terlalu cepat
digeser oleh hinggar-binggar hari raya yang ribut. Aku baru sadar ternyata hari
itu adalah hari raya Pengucapan Kabupaten
Minahasa….hahahaha…Selamat Hari
Pengucapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar