Rabu, 19 Maret 2014

CINTA SATU MALAM DI PUNCAK LOLOMBULAN[1]



Sebuah catatan perjalanan pencarian situs pernikahan Toar dan Lumimuut
Oleh Iswan Sual



Kamis, 9 Mei 2013

Curah hujan rintik-rintik ditemani udara dingin yang menusuk tulang tak sanggup mencegah kehendak beberapa pemuda menelusuri jejak-jejak kaki leluhur mereka. Jejak-jejak kaki Makarua Siow[2]. Rayuan belaian angin dan godaan kehangatan selimut tak mampu menjadi penghalang tekad yang sudah bulat. Pun kabut yang menutup langit tak kuasa mengurung niat enam teruna anggota Sanggar “Tumondei” Minahasa Selatan (STMS) ini. Tas punggung (carrier) disarati bekal seadanya telah siap dipikul. Termasuk lentera dan sebotol minyak tanah untuk digunakan sebagai pemantik api karena pastilah sangat sulit mendapatkan kayu kering di musim hujan.
***
Pukul 12.15 kaki-kaki yang masih kuat beralas sandal jepit mulai menapaki jalan basah dan agak licin. Tak butuh waktu lebih dari semenit kini mereka telah memunggungi Aer Tondei[3] menuju perkebunan Selderei. Medan menjadi sedikit mudah bagi kami sehingga perjalanan tak begitu menguras tenaga. Di tanah yang agak datar itu kami mendapati sebuah kotak yang terbuat dari semen setinggi kira-kira 4 meter. Dari prasasti yang menempel pada tubuhnya tahulah kami bahwa itu adalah bak penampung air yang dibuat dengan dana PPK tahun anggaran 2006. Secara bergantian aku dan Iswadi Sual mengambil gambar dengan kamera digital kami. Sembari melangkah kami berdiskusi tentang beberapa jenis rumput yang memiliki khasiat untuk menyembuhkan luka dan menambah stamina atau memulihkan kesehatan. Diantaranya rumpu membe’, rumpu macang, bunga takuti, sayor kenal, leilem, tu’is, mayana dan kendem. Pada waktu giliranku untuk menjelaskan, ada yang mendengar secara serius ada juga yang menanggapi dengan balik bercanda. Gelak tawa pun pecah sampai mengusik burung-burung yang bertengger di dedaunan pohon cengkeh yang kelihatan elok dan siap untuk dipanen. Mungkin tak banyak. Namun dengan harga yang tinggi (Rp 180.000 per kg) sudah lumayan untuk mencukupi kebutuhan makan beberapa hari. Harga komoditi selalu naik bila pasokannya sedikit. Yang beruntung adalah petani yang menyimpan hasil panen dan menunggu hingga harga melambung tinggi. Bagi kami, hal itu sukar dilakukan. Bahkan kadang buahnya sudah laku terjual sebelum dipanen. Terpaksa kami berhutang karena tuntutan kebutuhan sering tak bisa ditolak.
“Lihatlah pohon mangga di sana,” semua mata tertuju pada pohon besar dan menjulang tinggi ke langit, “di bawah pohon itu: Tonaas Muntuuntu, Wongkar, Timporok dan Sual mendirikan terung[4] ketika mereka sedang menunggu bunyi burung manguni sebagai jawaban terhadap pertanyaan dimana tempat yang paling layak untuk didirikannya sebuah perkampungan yang sekarang kita namakan Tondei,” kataku sambil berjalan dengan nafas terengah-engah. Dahi Yanli Sengkey tampak mengerut ketika otaknya mengolah informasi yang kuberikan. Sedangkan Billy Ompi dan Glendy Wongkar terkesan bingung. Hanya Rianto Wongkar dan Iswadi yang tak menunjukkan ekspresi yang berkesan. Barangkali informasi itu sudah bukan hal yang baru buat mereka. Di titik dimana kami berdiri terlihat Lolombulan yang berdiri megah – menantang jiwa petualangan kami. Semangat untuk segera merasakan suasana hutan belantara. Ini membuat tanjakan yang nyaris sejauh 3 km terasa cepat terlalui. Otot-otot yang tadinya mengeras menjadi lemas dan tenang lagi tatkala kami tiba di kali di perkebunan Rarem. Dengan menggunakan tangan kami meneguk airnya yang sedingin es.  Raga dan jiwa digenangi kesejukan yang memanjakan.
Perjalanan kami lanjutkan sampai kami berada di ketinggian dimana kami dapat melihat penggunungan Sinonsayang ada bawah kami. Ada rumah sederhana berdiri di tengah-tengah kebun yang disarati pohon cengkeh jenis Zanzibar. Pohon yang berdaun lebat dan elok dipandang mata. Kami melepas lelah sekitar sepuluh menit di rumah itu. Sebuah sepeda motor terparkir disampingnya. Ada pula tetengkoren[5] bergayut. Kini fungsinya tak begitu dipahami orang karena telah didepak oleh kehadiran telepon genggam, ipad dan lain sebagainya. Keluar kalimat penyesalan dari mulut kami saat kami keluar dari halaman rumah yang kami singgahi. Betapa bodohnya kami. Tidak mengisi air di wadah yang kami bawah. Apa yang akan kami minum dan dengan apa kami akan memasak nasi? Tanjakan menuju puncak sudah di depan mata. Kami berharap masih ada sungai atau sumber air yang akan kami lewati. Di persimpangan jalan kami bertemu dengan seorang ma’gula[6] yang baru pulang remoyor[7] atau keme’et[8]. Dia menunjukkan arah kemana kami harus pergi. Begitu senangnya kami karena dia muncul saat dibutuhkan. Glendy sebagai penunjuk jalan mulai kami ragukan pengetahuannya akan rute ke puncak Lolombulan. Rupanya dua tahun cukup membuatnya tak akrab lagi dengan bekas jejak kakinya.
Hanya dua belokan dari titik dimana kami bertemua seorang ma’gula kami bertemu pula seorang ma’gula yang lain di tampagula – pabrik pembuatan gula. Aroma gula aren begitu mengundang. Kelima teruna langsung berkerumun di rumping[9]. Panas tak mereka pedulikan. Si pemilik pun enggan melarang. Sudah menjadi semacam keyakinan bahwa seorang ma’gula tak boleh pelit agar gula yang dihasilkan kian bertambah. Hanya aku yang seolah tak berminat. Sibuk mengabadikan tindak-tanduk teman-teman yang tengah menikmat gula kenyal dan masih lengket itu. Rasa kagum si pembuat gula aren itu terpatri di wajahnya. Dia memberi petunjuk arah jalan ke puncak gunung yang berjumlah dua itu. Termasuk rute mana yang punya air dan yang tidak punya.
Kami mengambil jalan di sebelah kanan karena harus mengambil air. Dua belanga dan satu ember aluminium yang kami temukan di sebuah gubuk yang telah lama rubuh. Jalanan yang menanjak membuat kami semakin tertantang. Agak mudah  bagi kami mengenal jalanan ke puncak karena ditandai dengan jerat-jerat tikus yang berjejer di pinggirannya sepanjang jalan. Barisan jerat tikus itu mirip tembok Cina. Kadang-kadang kami menemui jalan butuh dan tersesat. Bila rerumputan menjalari pohon rumbang yang melintang di jalan. Namun, tak lama kemudian kami sudah bisa kembali ke jalan yang sebenarnya. Secara bergantian aku, Rianto dan Glendy dengan parang menebang kayu yang menghalang di depan untuk membuka jalan. Bukan hanya beberapa kali kami terantuk pada duri. Yang paing sadis adalah duri dari batang pohon rotan. Teriak-teriakan histeris akibat tusukan duri melengking di pendengaran. Yang mendengar selalu kaget dan datang menawarkan pertolongan. Kalau tidak parah, hanya gelak tawa yang mereka bawa. Beberapa kali kami berhenti untuk beristirahat sembari menunggu salah satu dari kami membuka jalan. Dua kali kami bertemu dengan kawanan yaki – monyet berjambul dan tanpa ekor. Jenis monyet yang sudah langkah dan hanya ada di hutan Sulawesi.  Jumlah dua kelompok itu sekitar 15 ekor. Karena mungkin sering diburu, monyet-monyet itu terlampau menjaga jarak dengan kami. Kamera digitalku tak diberikan sedikit waktu untuk mengambil gambar. Semakin dipanjat, Lolombulan kian gelap. Kampung Tondei pun sukar dilihat. Ditambah pepohonan yang lebat merintang.
Tubuh terasa letih dan matahari mulai terbenam. Jam tanganku kini menunjukkan pukul 16.30. Sesuai kesepakatan di awal perjalanan bahwa pada waktu itulah kami harus berhenti dan membangun tenda. Tepat di tempat yang agak landai aku langsung mengarahkan teman-teman untuk berhenti dan segera mengeluarkan terpal dan parang. Saya, Glendy, Yanli dan Iswadi menangani pembuatan tenda. Sedangkan Rianto dan Billy membuat api untuk menanak nasi. Hari belum gelap ketika tenda selesai dibangun. Makanan pun siap dicerna. Karena tidak tersedia piring dan sendok, kami makan secara bergantian. Dimulai dari Yanli dan diakhiri oleh Rianto. Burung-burung memperdengarkan bunyi yang sedikit menakutkan. Bicara kami kian dipelankan. Orang tua sudah mengingatkan bahwa tak boleh ada teriakan di Lolombulan. Karena kabut akan melingkupi kami hingga kami tak dapat melihat wajah teman kami yang ada di dekat. Itu bukan mitos atau dongeng. Itu cerita benar. Dan kuanggap itu sebagai suatu pandangan dan ajakan kepada pengunjung hutan agar sopan dan menghargai alam. Sebab bukan hanya kita yang ada di situ. Kita diajar untuk tak mengusik ketentraman setiap makhluk di dalam hutan.
Lentera yang kami bawa sudah cukup menjadi penerang. Lampu-lampu yang berkedip di kejauhan turut menghias pemandangan di malam hari. Mungkin lampu-lampu itu datang dari kampung Tiniawangko dan Boyong Atas. Dingin meliputi kami. Semua pakaian hangat dikenakan. Namun tetap terasa dingin. Semua menggigil. Cerita lucu yang dibawakan Billy sedikit mengusir rasa dingin. Selanjutnya kami terus memeluk tubuh kami. Pun ketika kami sedang mempelajari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi kami. Secara bergilir kami berbicara membahas pasal demi pasal dan ayat demi ayat undang-undang wadah dimana kami berhimpun. Di atas tikar dan kasur kecil kami berenam terbaring kaku menahan hembusan angin yang menusuk tulang. Yang paling tidak nyaman adalah Glendy dan Rianto. Itu karena mereka tidur paling tepi. Dan ternyata semua mengalami yang namanya susah tidur akibat dihantui perasaan takut. Imajinasi kreatif kami menghadirkan suasana angker yang menakutkan. Tapi kami semua berusaha mengendalikan rasa takut. Justru yang paling kami takuti adalah longsor dan ular piton. Maklum, letak tenda kami di kemiringan. Dan berbahaya.
Semua susah tidur pulas. Giliran jaga malam tidak berlaku. Akulah satu-satunya yang bertugas. Secara jujur, aku orang yang paling khawatir tentang keselamatan kami. Karena akulah yang tertua. Meski semua kami sudah dewasa, orang-orang tua kami bisa menyalahkan saya bila terjadi sesuatu pada kami. Maka dari itu aku selalu terjadi setiap kali terdengar suara yang mencurigakan di sekitar. Telepon selular kuhidupkan acapkali untuk mengetik status di jejaring sosial, Facebook, atau mengirimkan pesan singkat ke pacarku. Sebagai jaga-jaga bila sesuatu terjadi. Orang lain di luar sana bisa mengetahui dimana kami. Walaupun sepanjang perjalanan pohon-pohon kuikat dengan pita merah sebagai penanda untuk mempermudah pencarian.

Jumat, 10 Mei 2013
Sekitar pukul 07.00 kami bangun dan langsung membereskan tenda untuk melanjutkan perjalanan. Betapa kagetnya kami mendapati sandal Glendy hampir habis dilahap bara api!. Tapi apa mau dikata. Kelengahan telah berlaku. Dan percuma berharap kembalinya waktu. Agar itu bisa diantisipasi.
Tak ada minum pagi atau sarapan. Dengan tenaga yang segar kami mulai lagi penjelajahan. Duri tebal siap menghalang tapi parang siap pula menerjang. Sabetan parang Rianto melapangkan lorong di tengah hutan. Obsesi untuk mencapai puncak sudah tak tertahan lagi. Keringat bercucuran membasahi pakaian yang telah kami kenakkan sedari sehari sebelumnya. Sejam kemudian kami tiba di puncak. Tanda-tanda kehidupan babi hutan nampak di tanah. Ada bekas dimana mereka tidur dan bermain. Semakin jauh kami melangkah semakin bagus jalannya. Berbentuk seperti parit. Kami tahu itu bukan selokan air melainkan jalan pulangan[10]. Para penebang kayu liar menggunakan jalan ini untuk mengangkut kayu. Penebang liar bukan hanya masyarakat biasa. Ada juga pejabat-pejabat tinggi yang menggunakan jasa kerabat di kampung. Biasanya mereka kebal hukum. Tak ada resiko. Lain halnya dengan masyarakat biasa yang sewaktu-waktu bisa dibekuk dan dilemparkan ke penjara.
Kami memutuskan berhenti dan beristirahat di tempat yang agak datar. Nampaknya tempat itu sering dijadikan tempat tenda. Di dekat situ ada sebuah lolombeng[11]. Lokasinya persis di simpang tiga. Segita: dari Tondei, bila ke kanan, menuju Raanan Baru dan bila kekiri, menuju Malola. Karena cuaca baik kami tidak mendirikan tenda. Perut mulai berteriak. Kami pun mulai mengumpulkan ranting dan cabang kayu. Disitu kami membuat api untuk memasak nasi dan ikan kaleng. Udara di situ terasa sangat sejuk. Suara burung kakatua dan titicak turut memeriahkan keadaan. Canda tawa berulang kali tercipta. Kuwujudkan ungkapan perasaan dengan mengetik status di jejaring sosial. Ada lebih dari lima orang yang mengklik tanda jempol. Mungkin mereka suka. Suka karena mengerti bahasa Tontemboannya. Atau mungkin cuma asal klik saja. Sinyal telepon selular amat bagus. Tidak seperti di kampungku. Seandainya para monyet punya telepon genggam, tentu mereka lebih terinformasikan dibanding kami yang tinggal di belakangnya.
Sontak salah satu dari kami berteriak histeris. Kami bingung. Barangkali ada yang kena sabetan parang atau tertusuk duri. Atau terperosok ke dalam lolombeng. Ternyata tidak. Rasa geli melihat linta menempel di kaki. Itulah yang membuat Billy berteriak. Karena panik dia mencabut linta dengan kasar. Akibatnya kakinya robek dan mengeluarkan banyak darah. Yanli dan aku juga diserang linta. Iswadi menganjurkan agar tidak menarik linta dengan paksa. Cukup mengelusnya dengan manja maka binatang kenyal, lembut dan berwarna coklat kehitam-hitaman itu akan lepas dan jatuh dengan sendirinya. Setelah kami coba, ternyata dia benar! Aku terheran-heran. Darimana dia mendapat informasi cara jitu melepas linta? Kami meninggalkan ember dekat perapian lalu melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung lain. Lolombulan ternyata bukanlah gunung dengan puncak tunggal. Ternyata ada tiga gunung utama. Duanya lagi bernama Rakowulan dan Lincewulan. Informasi ini kuperoleh sewaktu kami mampir di desa Malola. Ferlan Liow, anak kepala desa Malola, memberitahu kami.
Tidak sukar kami meneruskan perjalanan. Sekali lagi dodeso, jerat-jerat (dotikus yang berjejer di jalan menjadi pemandu. Perlu juga aku sampaikan bahwa jerat yang kami temui banyak macamnya. Mereka adaah ta’ang, ruyang, kapiring, lompit, torak dan litau. Lima jerat pertama digunakan untuk menangkap tikus. Yang disebut terakhir adalah jerat untuk menangkap babi hutan. Untuk menangkap burung biasanya yang digunakan adalah leka’. Kelelawar ditangkap dengan tetempang. Dibantu dengan menara, tempat dimana seorang akan berdiri membentangkan jaring. Begitu kelelawar menabrak jaring, sekonyong-konyong dan cekatan orang itu akan menutup jaringnya. Kami melihat satu menara dan gubuk dimana pencari kelelawar biasanya berpangkalan.  Disitu pula kembali kami melihat bekas jalan orang pernah gunakan untuk menarik, dengan menggunakan sapi dan pulangan, kayu-kayu yang telah diolah.
Setelah melewati jalan yang agak curam berbatu (kepal, Tontemboan), kami menemukan sungai kecil. Beberapa kali tegukan sudah sangat memuaskan tenggorokan yang tadinya sudah kering. Botol yang sudah kosong kami isi penuh dengar air segar, seperti baru dikeluarkan dari kulkas. Kami mengambil jalan yang agak menanjak sudah itu. Kira-kira seratus meter jalannya nyaman untuk dilalui. Tampak rute itu sering dilewati. Di tempat kami berpijak pemandangan gunung-gunung lain di belakang kami. Desa Tiniawangko dan Boyong Atas yang seharusnya terlihat, sama sekali tak tampak karena tertutup kabut yang tebal. Percuma mengambil gambar dengan kamera, pikirku. Sudah itu, kami mengambil jalan yang sudah tertutup rotan berduri dan belukar tebal. Rianto dengan parangnya yang luamayan tajam memimpin di depan. Berkali-kali ada jedah. Capai begitu menguasai tubuh kami. Hampir setiap 50 meter kami berhenti sejenak. Sejam kemudian kami tiba di puncak gunung yang lain. Puncak tertinggi Lolombulan. Setidaknya itu menurut informasi yang kami terima dari orang yang sudah bisa melanglangbuana di hutan yang lebat itu. Tapi sayang sungguh sayang. Kami tak bisa berlama di puncak dengan darat yang tak luas. Dinginnya menusuk tulang. Tambah lagi linta-linta kian merajalela. Sangat cepat mereka memanjat tubuh kami. Linta-linta itu hampir saja masuk telinga saya. Kaki yang tak terbalut penuh dengan linta yang kian membesar ukurannya lantaran darah telah mengenyangkan mereka. Di puncak itulah aku tahu bahwa ada dua jenis linta di Lolombulan. Linta yang berwarna coklat kehitam-hitaman yang lambat memanjam dan linta yang berwarna kuning kehijau-hijauan yang cepat bergerak merayapi tubuh hingga ke bagian kepala.
Rasa geli dan risau kehilangan banyak darah mengubah keputusan kami. Tadinya kami berencana untuk mendirikan tenda barang sejam menikmati udara di puncak itu. Dengan terpaksa kami mengurungkan niat itu dan langsung meluncur dengan segera ke sisi gunung lain. Kata Glendy dengan penuh keyakinan bahwa kami sedikit lagi akan sudah di wilayah perkebunan Malola. Semakin menurun kian banyak jalan yang membingungkan. Untung, Glendi sang Tonaas masih mengingat rute. Jadi, setiap kali kami tersesat selalu dengan cepat dia bisa menunjukkan jalan kembali. Kepercayaan diri bertambah ketika kami tiba di sebuah tampa captikus. Seorang bapak menguraikan dengan gamblang rute ke desa Malola. Dan itu sangat melegakan kami berenam. Selanjutnya, perjalanan kami penuh dengan keindahan, kegembiraan, serta senda gurau. Pohon cengkeh dan kelapa yang subur turut menjadi oase yang memberi kepuasan pada jiwa dan batin kami. Lebih khusus aku.
Kadang-kadang dari posisi kami berdiri kami bisa melihat beberapa desa yang tampak hanya berukuran butiran jagung. Dengan penuh spekulasi kami memberi nama pemukiman itu. “Oh yang itu Picuang, itu Wangka dan itu…..” Perkiraan kami salah. Awalnya kami berpikir hanya dalam waktu satu jam dari tampa captikus pertama kami sudah akan menemukan Malola. Agak sedikit menjemuhkan ketika harus mealui jalan berbatu timbul dan becek. Nyaris semua kaki lecet dan berdarah-darah. Bahkan Yanli sampai bermohon kami berhenti sebentar untuk mengaso karena dia menderita kena sula[12]. Beberapa pabrik captikus masih kami dapati menjelang kami memasuki desa. Mulai dari yang berukuran besar sampai yang besar. Mulai dengan yang beratap katu utang hingga yang beratap seng. Beberapa kali bertemu dengan warga desa Malola yang sementara bekerja atau sementara menuju ke kebun dengan sepeda motor. Selalu sapaan ramah tampak dari tutur dan tindak mereka.
Keterkejutan melandaku saat kami mulai memasuki desa Malola Satu. Ada dua kuburan besar. Semacam kuburan raja di belahan dunia Eropa. Aku terkagum-kagum melihat konstruksi bangunannya dan berandai-berandai kalau sekiranya uang yang dihabiskan untuk pembangunan itu bisa digunakan untuk membantu orang yang masih hidup ketimbang untuk orang yang telah tak bernyawa. Tapi, apa mau dikata. Pikiran seperti itu jarang menghinggapi orang-orang berharta. Biasanya semakin kaya seseorang maka dia semakin miskin untuk memberi. Ironis!
Kami berjalan menuruni desa. Orang-orang kampung melempari kami dengan tatapan heran dan kasihan. Barangkali karna tampilan kami seperti gembel. Wajah keremos, pakaian kotor oleh becek dan kulit pucat. Anak-anak yang kami sapa malah menjauh. Namun begitu kulemparkan gasing yang kupungut dari hutan, mereka melonjak kegeringan. Lama-lama mereka mulai membuntuti kami. Lalu mulai bercakap-cakap. Dengan sukarela juga menawarkan bantuan untuk mengantar kami ke rumah teman kami di kampung itu. Sewaktu di Malola Satu kami dijamu dengan kopi satu cerek. Paman Glendy sangat murah hati. Di Malola kami mampir cukup lama di rumah teman kami yang bernama Ferlan Liou. Ayahnya baru saja dilantik sebagai Ukung Tua[13]. Kami juga dijamu dengan kopi dan kue. Isi toples nyaris habis karena kami telah dilanda rasa lapar yang amat. Sudah itu kami diberikan makan siang yang enak. Menu yang sangat sesuai dengan seleraku. Keramahan keluarga Liow ini kian kental ketika kami diantar dengan mobil pick up menuju gua Jepang di perkebunan Tewalen (kalau tidak salah) yang terletak hanya sekitar 300 meter dari Motoling. Namun, harapan kami masuk ke gua pupus, sebab gua itu telah ditutup dengan beton. Betapa kecewanya kami!
Dari situ kami melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halaman kami. Berharap ada kendaraan akan memberi tumpangan. Kira-kira setelah 2 km perjalanan dengan kaki kami diberi tumpangan di kendaraan pick up yang hendak mengantar tim sepak bola ke Raanan Baru. Dari situ pula kami melanjutkan perjalanan dengan kaki. Sungguh beruntung dan tak disangka-sangka, 1 km kemudian mobil pick up milik orang Tondei. Dan betapa terkejutnya ternyata sang sopir adalah teman kami yang sehari sebelumnya telah membuat kami sedikit kesal. Dia yang membuat kami menunggu lama sia-sia, tapi membatalkan keberangkatan bersama kami untuk menakhlukkan puncak Lolombulan. Rasa lelah dan nyeri karena lecet pada kaki langsung hilang begitu kami tiba di rumah. Terucap sebuah syair dari mulutku:
Lombulan

Lolombulan, kau tinggalkan sebuah lukisan sarat kekaguman
Yang kan selalu kupandang
Cinta ku lekas bersemi dalam satu malam
Akan membekas hingga akhir zaman

Sukar dilupa
Meski duri dan belukar
Tebal melintang
Namun kuanggap itu sebagai kelakar

Lolombulan kau selalu kurindukan
Pula Rakowulan dan Lincewulan
Misteri dan keramahanmu kan
Selalu dalam hatiku terhujam

Lolombulan O Lolombulan
Yang selalu mengundang kekaguman


[1] Lolombulan adalah salah satu gunung yang termuat dalam mitologi Minahasa. Konon, leluhur orang Minahasa yakini Toar dan Lumimuut melangsungkan pernikahan di puncak gunung itu dengan disaksikan bulan penuh. Lolombulan termasuk dalam area yang dulunya disebut Malesung. Jauh sebelum nama Minahasa dilekatkan kepada orang-orang keturunan Toar dan Lumimuut.
[2] Nama keturunan pertama Toar Lumimuut . Secara harafiah berarti dua kali sembilan.
[3] Secara harafiah berarti air Tondei. Terletak di desa Tondei Satu. Dahulu, sebelum hutan masih lebat mata air ini tak pernah kering meski kemarau berkepanjangan
[4] Gubuk
[5] Alat komunikasi tradisional yang terbuat dari bambu.  Ada lubang hampir di sepanjang ruas. Bambu diketuk menggunakan sepotok kayu untuk menghasilkan bunyi.
[6] Pembuat gula aren
[7] Menurunkan air nira
[8] Memanen air nira. Kata ini digunakan secara bergantian dengan kata remoyor.
[9] Wajan/belanga goreng
[10] Sebuah perkakas yang ditarik sapi. Bentuk seperti huruf H dengan kuk tunggal. Digunakan untuk menarik kayu yang telah diolah menjadi papan ato balok yang ditebang secara illegal.
[11] Lubang perangkap tikus
[12] Rasa sakit pada perut bila berjalan. Biasanya disebabkan oleh banyak minum.
[13] Penulis sengaja menggunakan istilah Ukung Tua untuk mengganti Hukum Tua karena memang sudah begitu semestinya. Istilah Ukung terganti secara tidak sengaja oleh kata Hukum oleh karena kesalahan kecil namun fatal.

MARENG I LELE: FESTIVAL UNIK MINAHASA YANG MEMBUAT HEBOH Catatan awal Tahun



 oleh Iswan Sual




Berawal dari cirita mabo [1] lalu menjadi cerita heboh. Demikian pemerihan Festival “Marantong” Tondei Raya yang dihelat pada 1 Januari 2014 lalu. Peristiwa itu memang benar adanya. Ide penggelaran acara Festival “Marantong” ini dimulai dari obrolan beberapa orang (kesemuanya telah menikah) di sebuah warung di desa Tondei. Ide ini barangkali muncul dari kegelisahan mereka yang menyaksikan perayaan tahun baru yang tahun demi tahun kian kemoderen-moderenan, yang tak sedikit menyita banyak uang dan membenamkan identitas daerah. Rupanya orang-orang yang tengah bermiras itu masih memiliki kesadaran bahwa kita (tou Minahasa) terus digerus oleh kecenderungan tradisi modern yang semakin tak memberi ruang bagi budaya lokal untuk berkembang. Dan tradisi modern yang mahal dan kurang dipaham itu telah cukup membuat mereka muak. Maka keluarlah ide untuk menggelar suatu kegiatan yang menarik, menantang dan merupakan hasil daya cipta orang-orang lokal. Yang langsung terpikir adalah tradisi Marantong. Seingat mereka tradisi ini terakhir kali dilaksakan di ro’ong Tondei sekitar tahun 1990-an. Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Anggapan itu tak benar karena pada 2012 lalu bertepatan dengan HUT ro’ong Tondei ke-99 Sanggar Tumondei dideklarasikan berdirinya dan dalam acara itu digelar pula permainan rakyat yang disebut Marantong sebagai salah satu mata acara. Namun peserta yang menyaksikan kurang dari 200 orang. Barangkali itulah alasannya sehingga ada anggapan bahwa permainan rakyat itu baru digelar ulang pada 2014.
Sedikit keliru sebenarnya ketika kegiatan ini dilabeli Marantong. Karena yang sebenarnya permainan rakyat itu bernama Mareng i Lele. Nama permainan ini berasal dari kata bahasa Tontemboan yang berarti mengembalikan lidi.
Tradisi mareng I lele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Mapulus Ma’ando atau kerja sama membersihkan kebun atau merombak hutan untuk dijadikan perkebunan. Kelompok Mapulus memiliki undang-undang atau aturan-aturan yang dikreasi untuk membuat proses dan hasil Mapalus menguntungkan semua orang. Aturan tersebut menyangkut soal diantaranya sopan santun, ketepatan waktu dan mutu pekerjaan. Setiap pelanggaran diganjar dengan pukulan lidi pada bagian tubuh di bawah lutut. Jumlah pukulan lidi disesuaikan dengan jenis kesalahan. Kesalahan yang besar akan dihukum dengan lebih banyak pukulan lidi. Biasanya yang melaksanakan tugas (eksekutor) adalah seorang yang diberi gelar Marantong. Barangkali karang tokoh sentral dari permainan rakyat ini adalah si Marantong sendiri sehingga lambat laun nama permainan, yakni mareng I lele berganti menjadi Marantong.
            Tadinya Festival Marantong direncanakan pas setelah makan siang selesai. Sekitar jam 1 dan 2. Saat itu dirasa orang-orang telah banyak berhamburan di jalan. Ada yang berjalan kaki ada yang berkendara. Tapi rencana tinggal rencana. Hujan lebat sekonyong-konyong tumpah dan membanjiiri Balai Pertemuan Umum. Padahal kami berencana sesudah Festival digelar akan dilanjutkan dengan acara makan bersama di dalam gedung pertemuan yang masih sementara diselesaikan pembangunannya. Kurang lebih dua jam kami menunggu. Tempias air hujan yang ditiup angin barat sempat membuat bulu roma kami berdiri. Terpantau semua insan memeluk raganya sendiri dan menahan gigil. Asa para pemain Kabasaran dari Sanggar Tumondei sempat ciut. Bahkan ada yang pulang tanpa ada pemberitahuan. Begitu hujan sedikit meredah (meski gerimis masih mengguyur) aku menganjurkan para penari untuk segera mengenakkan seragam yang serba merah itu. Aku laksana panglima perang yang memberi perintah kepada prajurit untuk siap berperang meski badan hujan menerjang. Semangat yang tadinya telah dibeku oleh dingin kini mencair kembali. Dengan langkah panjang-panjang aku memimpin mereka menuju jalan utama dimana acara hendak dilangsungkan. Acara pun dimulai setelah jalan lurus yang membentang 200 meter ditutup. Tanpa ada formalitas. Kabasaran diundang mengambil posisi. Terdengar ungkapan doa dipanjatkan oleh sang ma’bali-wali (pemimpin) kabasaran setelah tiga kali mengelilingi para waraney. Masyarakat pun kini berkerumun seperti mengincar gula. Awalnya yang kulihat sekitar 500-an orang. Selanjutnya tak terhitung lagi. Tepuk tangan membahana ketika pemimpin kabasaran mengucapkan instruksi terakhirnya, “Mareng an tampa!”.
Akhirnya acara yang paling dinanti pun tiba. Festival Marantong. Tanpa banyak perintah para pria baik tua maupun muda langsung membentuk dua barisan memanjang hingga mencapai 100 meter. Di kepala mereka telah terikat kain setangan kuning bertuliskan huruf merah “Festival Marantong”. Sedangkan di tangan masing-masing telah tergengam tiga ikat lidi yang tiap ikatnya berjumlah tiga. Bapak H.B. Sondakh selaku tokoh masyarakat yang kini berusia 70 tahunan mengawali permainan dengan uraian gamblang tentang arti penting permainan rakyat Marantong. Yang paling penting yang saya tangkap adalah bahwa permainan rakyat tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang mesti dijaga seperti kedisiplinan kerja, waktu, dan tindak. Dimana diharapkan generasi muda menjadi insan pekerja keras, tepat waktu, gemar bekerja sama, sopan dalam tutur dan perbuatan. Sudah itu si pemimpin acara Marantong dan rombongannya berjalan dua kali bolak balik tanpa dipukuli oleh para peserta yang telah berbaris. Begitu bolak balik ketiga hendak di mulai maka bertubi-tubi pukulan secara berganting mendarat di betis mereka. Lalu secara manasuka mereka saling memukul satu sama lain selama kurang lebih 30 menit. Ada yang saling unjuk kejagoan dengan tanpa alas betis. Bahkan sedikit melanggar aturan dengan memberikan keleluasaan untuk menentukan sasaran pukulan, asal bukan pada wajah. Biasanya hanya sedikit orang yang maunya begitu. Biasanya acara Marantong usai setelah lidi habis atau peserta sudah dilanda kelelahan. Habis itu dilanjutkan dengan makan bersama. Menunya pun jarang-jarang tersaji, ubi dan pisang rebus dipadukan dengan tuak atau saguer.

                               


[1] Obrolan orang-orang yang sedang menegak miras di warung