oleh
Iswan Sual
Hari itu tak
seperti biasanya. Ruang diskusi di grup KPAT tak seramai hari-hari sebelumnya.
Tak banyak yang menyatakan kesediaan diri untuk berangkat. Namun, aku telah
menetapkan hati. Dua orang, Della dan Yanli, masih siap menemani. Mungkin
mereka sama semangatnya denganku. Teman-teman lain tak mengabari. Demi menunggu
terpaksa kami tak pedulikan waktu. Dan matahari pun telah tegak di atas kepala.
Untuk cahyanya samar. Kabut menutup. Hanya sesekali dia mengintip dari
celah-celak sempit.
"Torang smo
pigi jo e? Biar jo cuma torang tiga," kataku dengan nada sedikit kecewa.
"Ada kwa
dorang David deng Tian yang mo menyusul. Mar, nanti kata bakudapa di
aerjatu," balas Yanli dengan percaya diri. Rupanya teman-temannya itu
saling bertukar pesan dengannya lewat ponsel.
Tim Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT) di air terjun Tekaan Telu Tinoor |
air terjun Tekaan Telu Tinoor, Tomohon, Minahasa |
Biasanya kami suka
bepergian di pagi hari dengan menumpang truk atau kendaraan yang terbuka.
Gratis alias tidak membayar. Hari itu, 17 Mei 2014, ada kekecualian. Kami
sepakat naik bus Tondano-Manado dari Tataaran. Sengaja kami memilih tempat
duduk paling belakang untuk mengentengkan kami dan penumpang lain bila kami
turun. Tentu tas punggung besar dan berat angkat menyangkut di tubuh para
penumpang lain jika duduk di tengah atau depan kendaraan itu. Lumayan lama kami
menunggu. Tapi, kami merasa kami tak perlu terburu-buru. Begitu mobil bus
dihidupkan aku pun yakin bahwa kami bertigalah yang beruntung dapat kesempatan
dibelai oleh lembut dan eloknya air terjun Tekaan Telu. Nama itu pasti pemberian
orang berbahasa Tombulu. Artinya barangkali tiga tebing. Bukan tiga air terjun.
Soalnya disitu terdapat lima air terjun di tiga lokasi yang berbeda. Di tengah
perjalanan, di Tomohon, telponku bergetar. Ternyata itu Jufri Mogogibung. Dia
memberitahu kami bahwa dia dan Charles Mogogibung sedang terjebak hujan di
Amurang. Sedikit lagi mereka akan segera jalan lagi. Kami gembira mendengar
kabar mereka. Dan kami rela menunggu mereka selama dua jam di pangkalan ojek
gerbang Tinoor.
Sambil menunggu
kami mengobrol, membaca bahkan bercanda. Itulah cara membunuh waktu paling
tepat. Menunggu menjadi tidak terlampau membosankan. David dan Tian muncul tak
lama kemudian. Mereka turun dari sebuah mobil open cap. Senang juga kami
melihat mereka lagi. Seingatku kami juga bertemu mereka di gunung Tampusu.
Bahkan tenda kami berdiri berdekatan. Kami saling bertukar makanan dan
peralatan masak. Saling menawarkan bantuan dan saling mengajak untuk bermain
sesuatu demi sekedar rekreasi. Waktu itu pula muncul dua orang lain. Tapi
datangnya dari air terjun. Kata mereka, merek datang ke kampung Tinoor untuk
menambah logistik. Kehabisan rokok lebih khususnya. Kami bercakap lama dengan
mereka. Keakraban tercipta dalam beberapa menit. Kenalan baru.
Jufri
dan Charles bertemu kami setelah kami pindah ke pos masuk air terjun. Bila dari
arah Tomohon, pos itu letaknya di sebelah kanan. Pas di belokan. Ada juga papan
penunjuk situs berdiri disitu. Sudah sering aku lihat tapi kurang
memperhatikan. Dengan ketambahan mereka, jadilah kami satu tim yang besar.
Tujuh orang turun ke lokasi secara bersama akan menambah ramai suasana. Begitu
kami mendekati base camp, nampak tenda berdiri dimana-mana. Suara gaduh mengisi
nyaris setiap sudutnya. Setelah melewati selokan kecil dan kolam ikan, kami
menemukan tempat yang agak sempit yang baru saja ditinggalkan oleh orang lain.
Sontak, kami langsung mendirikan tenda di situ. Tendaku yang berwarna hijau dan
tenda Jufri yang berwarna oranye nampak serasi berdampingan. Warna tenda-tenda
itu serasi dengan warna logo organisasi kami, Komunitas Pecinta Alam Tumondei
(KPAT).
Tak berlama, kami pun mulai menyiapkan makan malam. Kami berangkat dari
Tataaran sekitar jam 11 pagi. Tiba di pangkalan ojek sekitar jam 12 siang. Tiba
di base camp, kalau tidak salah, jam 3 sore. Lama pendirian tenda tak sampai
satu jam. Yang membuat lama adalah pembuatan got di sekitar tenda agar air tak
masuk ke dalam tenda. Teman-teman mencari kayu bakar. Sedang lainnya
mempersiapkan bahan. Walaupun basah, kayu bisa menyala. Jufri seorang ma'gula,
pembuat gula aren. Dan dia ahli dalam melihat kayu bakar yang bagus.
Jadinya, kayu bakar yang kami gunakan bisa memberi api dengan baik.
Malam kami habiskan dengan mendengar suara burung dan arus sungai. Sayangnya,
suara gaduh manusia terlampau berkuasa. Bicaranya tak karuan dan berteriak
seperti orang kesurupan. Aku merasa pasti bahwa mereka itu telah menegak
minuman keras. Walaupun begitu, aku bahkan teman-teman lain cukup betah untuk
tinggal beberapa hari lagi. Di tempat itu pula, kami bertemu dua orang
sekampung dengan kami. Erick Warouw dan Fandi Pangaila. Setelah sarapan di pagi
18 Mei 2014, kami berangkat menuju air terjun. Tebing yang kurang dan licin
terlalui juga. Salah langkah bisa menyebabkan maut. Namun, keberanian dan
ketulusan hati menjauhkan kami dari bahaya itu.
Di ujung turunan tebing itu kami menemui sebuah air terjun. Kami
tertegun sejenak dan terkagum-kagum. Acara mengambil foto disertai gelak dan
canda mewarnai lokasi itu. Bukan hanya sekali. Beberapa kali. Nyaris batrei
kehabisan energi. Dari situ kami menuju ke air terjun lain. Tak sampai 10 menit
kami tiba di air empat terjun. Sungguh
luar biasa eloknya! Itu pertama kalinya saya melihat air terjun sebanyak empat secara
langsung di lokasi yang sama. Kami tim pertama yang tiba waktu itu. Puas mengambil
foto, kami beranjak pulang demi memberi kesempatan kepada tim-tim lain.
Setiba di base camp, kami tak langsung angkat kaki menuju Tataaran. Banyak
waktu kami gunakan untuk masak dan bersenda gurau. Bahkan bertukar cerita
tentang kesan yang barusan kami alami. Yang lainnya menyempatkan diri melihat
kembali foto-foto yang telah diambil. Setelah makan kami packing dan bertolak ke pos dekat jalan raya Tomohon-Tondano. Satu
jam menuggu, lalu kami diberi tumpangan hingga Tomohon. Di Tomohon kami
menunggu hingga menjelang malam. Tapi, mujurlah tidak terlalu malam. Sudah tiba
di kamar kami. Tapi hingga kini sejuknya air terasa masih menempel di tubuh
kami.
Para petualang dari tim yang berbeda |
Tenda-tenda di base camp dekat air terjun Tekaan Telu, Tinoor |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar