Selasa, 17 Juni 2014

MENCECAH ELOK AIR TERJUN TEKAAN TELU TINOOR

oleh 
Iswan Sual


    
      Hari itu tak seperti biasanya. Ruang diskusi di grup KPAT tak seramai hari-hari sebelumnya. Tak banyak yang menyatakan kesediaan diri untuk berangkat. Namun, aku telah menetapkan hati. Dua orang, Della dan Yanli, masih siap menemani. Mungkin mereka sama semangatnya denganku. Teman-teman lain tak mengabari. Demi menunggu terpaksa kami tak pedulikan waktu. Dan matahari pun telah tegak di atas kepala. Untuk cahyanya samar. Kabut menutup. Hanya sesekali dia mengintip dari celah-celak sempit.
      "Torang smo pigi jo e? Biar jo cuma torang tiga," kataku dengan nada sedikit kecewa.
      "Ada kwa dorang David deng Tian yang mo menyusul. Mar, nanti kata bakudapa di aerjatu," balas Yanli dengan percaya diri. Rupanya teman-temannya itu saling bertukar pesan dengannya lewat ponsel.
Tim Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT) di air terjun Tekaan Telu Tinoor

air terjun Tekaan Telu Tinoor, Tomohon, Minahasa


      Biasanya kami suka bepergian di pagi hari dengan menumpang truk atau kendaraan yang terbuka. Gratis alias tidak membayar. Hari itu, 17 Mei 2014, ada kekecualian. Kami sepakat naik bus Tondano-Manado dari Tataaran. Sengaja kami memilih tempat duduk paling belakang untuk mengentengkan kami dan penumpang lain bila kami turun. Tentu tas punggung besar dan berat angkat menyangkut di tubuh para penumpang lain jika duduk di tengah atau depan kendaraan itu. Lumayan lama kami menunggu. Tapi, kami merasa kami tak perlu terburu-buru. Begitu mobil bus dihidupkan aku pun yakin bahwa kami bertigalah yang beruntung dapat kesempatan dibelai oleh lembut dan eloknya air terjun Tekaan Telu. Nama itu pasti pemberian orang berbahasa Tombulu. Artinya barangkali tiga tebing. Bukan tiga air terjun. Soalnya disitu terdapat lima air terjun di tiga lokasi yang berbeda. Di tengah perjalanan, di Tomohon, telponku bergetar. Ternyata itu Jufri Mogogibung. Dia memberitahu kami bahwa dia dan Charles Mogogibung sedang terjebak hujan di Amurang. Sedikit lagi mereka akan segera jalan lagi. Kami gembira mendengar kabar mereka. Dan kami rela menunggu mereka selama dua jam di pangkalan ojek gerbang Tinoor.
      Sambil menunggu kami mengobrol, membaca bahkan bercanda. Itulah cara membunuh waktu paling tepat. Menunggu menjadi tidak terlampau membosankan. David dan Tian muncul tak lama kemudian. Mereka turun dari sebuah mobil open cap. Senang juga kami melihat mereka lagi. Seingatku kami juga bertemu mereka di gunung Tampusu. Bahkan tenda kami berdiri berdekatan. Kami saling bertukar makanan dan peralatan masak. Saling menawarkan bantuan dan saling mengajak untuk bermain sesuatu demi sekedar rekreasi. Waktu itu pula muncul dua orang lain. Tapi datangnya dari air terjun. Kata mereka, merek datang ke kampung Tinoor untuk menambah logistik. Kehabisan rokok lebih khususnya. Kami bercakap lama dengan mereka. Keakraban tercipta dalam beberapa menit. Kenalan baru. 
        Jufri dan Charles bertemu kami setelah kami pindah ke pos masuk air terjun. Bila dari arah Tomohon, pos itu letaknya di sebelah kanan. Pas di belokan. Ada juga papan penunjuk situs berdiri disitu. Sudah sering aku lihat tapi kurang memperhatikan. Dengan ketambahan mereka, jadilah kami satu tim yang besar. Tujuh orang turun ke lokasi secara bersama akan menambah ramai suasana. Begitu kami mendekati base camp, nampak tenda berdiri dimana-mana. Suara gaduh mengisi nyaris setiap sudutnya. Setelah melewati selokan kecil dan kolam ikan, kami menemukan tempat yang agak sempit yang baru saja ditinggalkan oleh orang lain. Sontak, kami langsung mendirikan tenda di situ. Tendaku yang berwarna hijau dan tenda Jufri yang berwarna oranye nampak serasi berdampingan. Warna tenda-tenda itu serasi dengan warna logo organisasi kami, Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT).
          Tak berlama, kami pun mulai menyiapkan makan malam. Kami berangkat dari Tataaran sekitar jam 11 pagi. Tiba di pangkalan ojek sekitar jam 12 siang. Tiba di base camp, kalau tidak salah, jam 3 sore. Lama pendirian tenda tak sampai satu jam. Yang membuat lama adalah pembuatan got di sekitar tenda agar air tak masuk ke dalam tenda. Teman-teman mencari kayu bakar. Sedang lainnya mempersiapkan bahan. Walaupun basah, kayu bisa menyala. Jufri seorang ma'gula, pembuat gula aren. Dan dia ahli dalam melihat kayu bakar yang bagus. Jadinya, kayu bakar yang kami gunakan bisa memberi api dengan baik. 
          Malam kami habiskan dengan mendengar suara burung dan arus sungai. Sayangnya, suara gaduh manusia terlampau berkuasa. Bicaranya tak karuan dan berteriak seperti orang kesurupan. Aku merasa pasti bahwa mereka itu telah menegak minuman keras. Walaupun begitu, aku bahkan teman-teman lain cukup betah untuk tinggal beberapa hari lagi. Di tempat itu pula, kami bertemu dua orang sekampung dengan kami. Erick Warouw dan Fandi Pangaila. Setelah sarapan di pagi 18 Mei 2014, kami berangkat menuju air terjun. Tebing yang kurang dan licin terlalui juga. Salah langkah bisa menyebabkan maut. Namun, keberanian dan ketulusan hati menjauhkan kami dari bahaya itu.
          Di ujung turunan tebing itu kami menemui sebuah air terjun. Kami tertegun sejenak dan terkagum-kagum. Acara mengambil foto disertai gelak dan canda mewarnai lokasi itu. Bukan hanya sekali. Beberapa kali. Nyaris batrei kehabisan energi. Dari situ kami menuju ke air terjun lain. Tak sampai 10 menit kami tiba di air  empat terjun. Sungguh luar biasa eloknya! Itu pertama kalinya saya melihat air terjun sebanyak empat secara langsung di lokasi yang sama. Kami tim pertama yang tiba waktu itu. Puas mengambil foto, kami beranjak pulang demi memberi kesempatan kepada tim-tim lain.
         Setiba di base camp, kami tak langsung angkat kaki menuju Tataaran. Banyak waktu kami gunakan untuk masak dan bersenda gurau. Bahkan bertukar cerita tentang kesan yang barusan kami alami. Yang lainnya menyempatkan diri melihat kembali foto-foto yang telah diambil. Setelah makan kami packing dan bertolak ke pos dekat jalan raya Tomohon-Tondano. Satu jam menuggu, lalu kami diberi tumpangan hingga Tomohon. Di Tomohon kami menunggu hingga menjelang malam. Tapi, mujurlah tidak terlalu malam. Sudah tiba di kamar kami. Tapi hingga kini sejuknya air terasa masih menempel di tubuh kami.
 
Jufri Mogogibung (ketua umum KPAT) dan Yanli Sengkey di air terjun Tekaan Telu

Para petualang dari tim yang berbeda

Tenda-tenda di base camp dekat air terjun Tekaan Telu, Tinoor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar