oleh
Iswan Sual
Status gunung Lokon: siaga tiga. Tapi, dasar orang gila, gila mendaki gunung, semangat kami tak sedikit pun kendor. Seolah seorang pahlawan yang sudah terlanjur maju ke medan perang, pantang untung mundur. Itu terjadi pada 23-25 Mei 2014.
Perjalanan kami dimulai dari wanua Tataaran. Karena jumlah kami terlampau besar, kami membagi diri menjadi dua kelompok. Mengapa harus dibagi? Ini demi mudahnya mendapatkan tumpangan di atas truk ato mobil pick up. Jumlah yang banyak menyusahkan kami dalam mencegat. Sopir bisa ketakutan. Takut kendaraannya ambrok oleh para penumpang gratis. Hari itu kami beruntung. Tak sampai satu minggu kami sudah berada di atas truk besar menuju Tomohon. Dua kelompok naik pada truk yang sama. Alangkah baik hatinya sang sopir itu.
Kami turun tepat di gerbang jalan menuju kampus UNSRIT Tomohon. Dekat SMU Lokon. Sebelum sekolah rintisan bertaraf nasional itu, ada perempatan, sampingya kuburan, kami belok kanan. Tak lama kemudian ada lagi perempatan kami belok kiri. Kami jalan kaki mengikuti jalan beraspal hingga persimpangan. Disitu kami belok kanan. Berjalan terus hingga mulai menanjak di kebun sayur. Mobil open cap pengangkut sayur mengangkut kami hingga mencapai base camp. Itu sangkaan kami. Ternyata gedung itu adalah gedung tempat tampung sayuran. Barangkali gedung itu bantuan pemerintah.
Setelah istirahat sejenak, sembari mengambil foto pemandangan latar kota Tomohon, kami melanjutkan perjalanan menerobos rerumputan tebas yang tajam. Sayatan-sayatan langsung terasa perih. Sialnya hujan mulai turun dan kami menemui jalan buntu. Di jalan butuh itu nampak bekas orang mendirikan tenda. Sebuah bendera partai digantung tinggi dekat situ. Hujan semakin deras. Dan tak bisa berhenti. Kami mesti melanjutkan perjalanan demi mengusir dingin. Secara bergantian kami para lelaki menebas rumpu piso yang tebal. Kata lainnya, kami membuka jalur baru. Jalur yang belakangan kami tahu sebagai jalur mematikan. Disebut sebagai ruang hanyutan lahar kala gunung sedang marah. Itu kata petugas penjaga gunung kepada teman kami.
Tim Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT) berfoto ria di Pal penanda puncak gunung Lokon |
Para penakhluk puncak Lokon dari Komunitas Pecinta Alam Tumondei |
Berusaha merubuhkan rerumputan supaya bisa mendirikan tenda |
Esoknya, setelah sarapan, kami memutuskan untuk mendaki puncak. Semua barang kami tinggalkan kecuali kamera dan benda ringan lainnya kami bawa. Kami mendaki mengikuti selokan atau got. Satu kali kami bertemu longsor. Beberapa kami harus memanjat medan yang cukup menantang. Pemandangan pun kian rupawan. Namun, puncak belumlah terjejak. Tiga orang dari kami memutuskan untuk tak meneruskan perjalanan. Alasannya kelelahan dan kelaparan. Dan itu benar. Aku pun, terus terang, merasakan hal yang sama. Tempat dimana kami berpisah, kami sebut pos Perpisahan. Dari pos itu kami lanjut. Butuh waktu 30 menit untuk sampai di puncak. Lega rasanya berada di ketinggian itu. Kami berfoto ria di sebuah pal penanda ketinggia gunung. Kami menemukan beberapa lubang persegi. Hanya sembilan orang dari kelompok kami yang diberikan kemampuan oleh TYME untuk menakhluk puncaknya.
Setelah puas kami pun turun. Rasa senang menjadi teman sejati kelelahan. Tak berhenti kami bercerita dan bercanda. Barangkali itu sebuah ungkapan keberhasilan yang luar biasa besarnya. Kami bertemu dengan teman-teman kami dekat sebuah bak penampungan air yang terletak di sekitar area perkebungan sayur warga. Mereka sangat baik. Mereka telah menyediakan kami makanan dan minuman. Disitu kami bertukar cerita hingga menjelang malam.
Kami pulang dengan cara D.O. alias hitchiking. Jam 8 malam kami tiba di Tataaran. Demi memanjakan diri lagi, pergilah kami ke tempat pemandian air panas. Ah sungguh perjalanan yang melelahkan dan menyenangkan. Terima kasih Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar