[Sebuah
Catatan Perjalanan]
Oleh Iswan
Sual
18 April 2014 (Tataaran-Langowan-Pinabetengan-Pinus
1-Base Camp)
“Kyapa blum
siap? So lebe tinggi matahari tu ini!” kataku setelah melirik ke jam yang
terdapat di ponselku. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 wita. Aku dan
teman-teman lain sedang menunggu seorang gadis yang katanya tertarik untuk
gabung dengan tim kami. Aku sendiri tak yakin bila gadis itu akan turut serta.
Alasannya, hanya dia satu-satunya wewene yang bakal ikut serta dan kami belum
saling kenal. Sedangkan kegiatan kami akan berlangsung kurang lebih tiga hari
di hutan. Atau tepatnya di belantara gunung Soputan. Gadis itu tiba bersamaan
dengan Handy Legi yang datang dengan membawa sebuah tabung gas. Kata mereka,
setelah kutanya kenapa mereka membeli gas, mereka berikhtiar memasak beras yang
telah dibungkus dengan daun kaboro semalam
yang baru lalu. Sudah sempat dimasak pada jam 1 dini hari, lalu terhenti
lantaran kompor kehabisan gas.
Lumayan
lama kami menunggu. Untung saja masing-masing kami punya selera humor. Jadi,
kami dapat membunuh waktu dengan baik. Si gadis yang bernama Miya hingga kini
belum berujar sepata kata kepada kami. Kecuali kepada Yanli. Wajar saja. Mereka
sudah saling kenal di kampus. Setelah salah satu dari kami memimpin doa
perjalanan, kalau tidak salah Yanli yang mendapatkan kesempatan itu, kami pun
mulai bergerak dan menantang cubitan mentari pagi. Keraguanku sirna tatkala
melihat si Miya, seorang gadis Mongondow, juga sudah menarik tas dukung dan
melemparnya ke punggungnya sendiri. Kami berjalan menuju jalan depan gereja
kampus UNIMA. Disitu kami berharap dapat mencegat mobil yang kebetulan menuju ke
Langowan atau Kawangkoan. Dengan cara hitchhiking
pastinya. Orang Manado bilang D.O. singkatan dari Dola Oto. Secara harafiah
artinya cegat mobil.
Begitu kami
tiba disitu kebaktian gereja minggu hendak dimulai. Suasana terlihat mulai agak
gaduh. Untuk menghormati mereka yang beribadah kami pindah ke area yang jalannya
agak miring, di tempat yang agak somu-somu.
Tak lagi terjangkau oleh mata jemaat geraja itu. Kurang lebih 100 meter dari
depan gereja ke arah Remboken. Kami menunggu dekat pumpunan pepohonan bambu. Tiupan
angin perlahan mencipta desiran di antara dedaunan dan pohon bamboo. Kami
menyebutnya pohong bulu, jenis bulu taki.
Yang kami tunggu adalah jenis mobil pick
up atau open cap. Hanya kira-kira
setengah jam kami menunggu. Bahkan mungkin kurang. Sopir yang berbaik hati
menghentikan dump truck (?) yang dia
kendarai tepat saat aku yang berperan sebagai hitchhiker. Kendaraan berwarna kekuning-kuningan itu penuh debu dan
nampak reyot dan bocor di sana-sini. Kalau tidak ektra hati-hati, kami beresiko
masuk ke dalam lubang-lubang menganga itu. Dan akan terluka oleh sayatan tajamnya.
Tak dapat
digambarkan rasa senang di setiap wajah kami. Tiupan angin di atas truk yang
melaju membuat kami mesti berteriak ketika bicara. Itu membuat gaduh dan seru.
Hanya seorang yang tak tampak ekspresi senangnya. Ada terukir rasa pastiu atau mungkin malu bila dilihat
teman-temannya di atas kendaraan berbadan besar itu. Mungkin pula karena itu
pengalaman pertama sehingga gembira telah bercampur gugup.
Kami
diturunkan di pasar Langowan, tepat di jalan pertigaan ke arah Tompaso, biasa
kami menyebutnya Tompaso Lama. Sopir yang penuh tato itu begitu ramah dan baik
hati. Barangkali, umurnya 20-an. Dengan lembut dia menyambut dan mengucap
perpisahan kepada kami. Padahal kalau dia tak mengucap sepata kata, dia 100 %
kelihatan seperti seorang preman alias penjahat. Di depan bengkel yang tutup kami berenam
menunggu kendaraan menuju Kawangkoan atau desa Pinabetengan. Kira-kira setengah
jam kami menunggu. Yanlilah si tukang D.o-nya. Mobil open cap yang dikendarai seorang lelaki paruh baya membolehkan kami
mengecap nikmat perjalanan dengan suguhan pemandangan yang sangat indah di
sepanjang jalan Langowan-Tompaso. Hamparan rumah dengan beraneka gaya, sawah
dan bukit-bukit kecil membuat kami larut sejenak. Nyaris saja kami lupa turun
lantaran terlena oleh rayuan kemolekan wajah alam yang kami lewati.
Penakhlukan Soputan oleh Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT) |
Iswan Sual di puncak Soputan |
Di
Perempatan kami turun. Di samping kiri ada sebuah kafe yang enak dipandang
mata. Dari situ kami berjalan kaki dan menyusuri jalan beraspal kira-kira 2
kilo meter ke desa Pinabetengan. Di sebelah kanan dan kiri kami masih saja disuguhi
pemandangan elok. Meski dari jauh kami bisa juga melihat Bukit Kasih dan lokasi
Batu Pinabetengan. Dua situs yang berdekatan namun dikatakan orang
bertentangan. Yang satu pusat agama tua/lokal, agama yang tidak diakui
keberadaannya. Satunya lagi situs religius dari semua agama impor luar negeri
yang diakui negara. Selain itu kami melewati stadion pacuan kuda dan Kampus
Pa’dior Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Gambar Chaves Tiwa dan Handy Legi
di tempat itu sempat kuabadikan. Mereka berdiri pas di depan papan nama besar.
Di desa
Pinabetengan kami singgah di beberapa warung untuk membeli kebutuhan kami nanti
selama berada di gunung: air mineral, makanan, minyak tanah dll. Udara terasa
begitu panas. Matahari seolah membakar tubuh kami. Ini membuat kami harus
beberapa kali berhenti kemudian berteduh
di bawah pohon. Saat baru memasuki perkebunan di luar desa, kami memutuskan
berhenti untuk makan siang. Kasur pun digelar di atas rumput dan nasi kaboro
serta abon dikeluarkan. Peserta yang tadinya enggan bicara sudah mulai membuka
diri untuk percakapan dengan kami. Kami mulai membahas tentang
kegiatan-kegiatan mahasiswa di kampus. Topik jurnalisme atau dunia tulis
menulis menjadi topik yang menarik. Sembari menikmati makanan yang kuanggap
lezat itu ringkikan kuda dan sapi terdengar. Sampai-sampai, ada dari kami
sesekali meniru suara mereka saat sedang dalam perjalanan beberapa waktu
kemudian. Sebuah metode yang cukup ampuh untuk mengusir penat dan kelelahan.
Selanjutnya
kami berjalan menanjak mengikuti jalur jalan roda. Beberapa kali kami berhenti
untuk menyesuaikan kecepatan langkah dengan seorang peserta yang baru kali itu nae gunung. Tapi setiap perhentian
bukanlah sebuah kerugian. Sebab, waktu itulah kami bisa bercanda dan mengambil
foto pemandangan yang luar biasa. Bahkan ada saja teman yang secara sukarela
membagi cerita-cerita lucu. Semakin kami menanjak, pemandangan alam semakin
elok nan menarik. Bukit-bukit kecil, pemandangan kota Langowan, Tondano dan
danaunya, serta ladang sayur mayur yang menggiurkan. Sebelum masuk hutan kami
mampir sebentar untuk duduk dekat sebuah gubuk. Dari situ kami dapat melihat
dengan jelas Minahasa bagian tengah. Kira-kira 15 menit kemudian kami tiba di
Pos 1. Nama lainnya adalah Pinus Satu. Dinamakan demikian lantaran area itu
disarati pohon pinus. Lama kami berhenti di situ. Saya bercerita. Terkadang
isinya kosong. Sedang yang lainnya larut dalam permainan. Yanli Sengkey dan
Jufri Mogogibung saling lempar buah tomat yang ditinggalkan peserta yang baru
turun. Di Pos 1 ini terdapat banyak tempat duduk yang terbuat dari kupas, kayu yang dibela dengan chainsaw secara agak kasar. Kami bertemu
beberapa kelompok pendaki yang hendak turun. Kami berkenalan sambil berjabat
tangan. Namun sayangnya, tak satu pun nama tertancap dalam ingatan. Hanya asal
kampung mereka yang sempat terekam. Ada yang datang dari Ratahan, Manado,
Sonder, dan Bitung. Medan jalan semakin mudah begitu kami meninggalkan Pos 1.
Bukan mendaki. Lebih banyak mendatar dan kadang-kadang menurun. Kecuali saat
melewati pancuran di dekat longsor. Kami harus melewati tebing sambil menaiki
pohon tumbang yang menyilang. Dari situ kurang lebih lima menit kami tiba di
sungai kecil, yang saya beri nama Salu
Kuni’ atau sungai kuning. Kami melawan aliran sungai ini hingga tiba di
sebuah pancuran lagi, yang terletak di dekat Pos 2. Juga disebut Pinus Dua atau
Base camp. Sayang sungguh sayang,
pancuran ini sudah nyaris penuh dengan tumpukan sampah plastik. Padahal area
itu adalah area sumber air bersih terakhir yang terdekat dengan puncak gunung.
Tulisan “Jangan buang sampah disini!” tidak menginsafkan para pembuang sampah
itu.
19 April 2014 (Base Camp-Pos Panorama-Puncak Anak
Soputan)
Mau tak mau
kami harus menundah perjalanan kami ke puncak. Karena hari sudah gelap. Tambah
lagi, perut kami sudah keroncongan. Dan memang, umumnya, semua pendaki
mengambil langkah yang sama. Berhenti, mendirikan tenda, memasak dan makan lalu
istirahat untuk mengembalikan tenaga. Dua terpal berwarna coklat cepat
terpasang dan membentuk sebuah tenda kecil. Para lelaki dalam tim semua cekatan
dan cepat mengambil inisiatif. Tak perlu banyak diarahkan. Cukup diberi panutan
maka mereka hati mereka tergerakkan. Namun, harus kami akui bahwa
peristirahatan kami tidak terlalu baik di malam itu. Udara begitu dingin. Semua
lebih memilih keluar tenda dan merapat dekat api. Nyaris tak ada kelengangan di
pos itu. Orang-orang terus berdatangan dan mendirikan tenda pun menjelang
subuh. Pantas saja kami tak bisa beristirahat dengan baik. Sebentar-sebentar
kembali ke tenda dan mengejab mata, sebentar-sebentar terbangun oleh suara
gaduh para pendaki yang lain. Barangkali kami bangun sekitar jam 7 pagi. Waktu
terlewati dengan kegiatan memasak, bersih-bersih dan berdiskusi. Tentang banyak
hal. Selanjutnya kami packing dan melanjutkan perjalanan. Hanya tenda yang
tidak kami bongkar. Tenaga baru dan semangat yang bergelora memacuh kami
berjalan tergesa-gesa menyusuri hutan menuju pos selanjutnya, Pos
Panorama/Pemandangan. aku, bukan hanya aku, tetapi semua kami terkagum senang
tatkalah sampai di pos itu. Di tempat itu kami mengambil foto diri kami sendiri
dengan latar belakang hutan pinus dan kawah, bukit dan jurang di sebelah kiri
dan kanan. Di area ini kami juga dapat mengaktifkan ponsel dan memperbaharui
status jejaring sosial Facebook kami. Sekedar untuk memberitahu kepada dunia
luar atau untuk menyombongkan pencapaian kami. Di pos ini aku merasa seperti
menjadi salah satu pelakon dalam film Twightlight. Film Vampire yang diperankan
oleh orang-orang yang berwajah rupawan. Suasana semakin dramatis ketika kami
tiba di ujung pos Panorama. Di depan terbentang jurang lebar menganga. Nampak
di depan dua puncak berwarna hitam. Yang tinggi sedang mengeluarkan asap. Di
puncak yang agak rendah, orang bilang itu Anak Soputan, tepancang bendera merah
putih. Disitulah kami hendak menuju. Waktu berdiri di teping pos Panorama,
kegugupan melandah ragaku. Sempat kulontarkan kepada teman-teman bahwa mungkin
aku tak berani naik.
“Mo nae jot
orang? So gugup kita noh,” kataku terus terang. Bukan untuk menurunkan semangat
juang mereka. Tapi lebih pada ungkapan jujur yang tak mau sok berani.
“Kalu torang,
mana-mana!” kata mereka kompak. Sekejab itu moralku bangkit dan keberanian pun
melompat keluar. Seperti ada tenaga luar biasa baru disuntikkan ke tubuhku.
Kami mulai pun
turun. Mendahului para pendaki lain yang Nampak sudah lama berdiri dekat tebing
itu. Medan terlihat sulit. Namun rasa ingin mengenggam pasir hitam puncak
Soputan begitu menggebu-gebu. Sesekali kami jedah dan mengambil nafas. Kadang
juga berhenti untuk minum dan makan. Darah dalam pembulu kami semakin memompa
begitu kian dekat dengan puncak. Semakin dekat semakin kami menanjak. Kami
harus menggunakan ampa kaki alias scrambling. Tenaga kian berkurang.
Anehnya Jufri Mogogibung dan Chaves masih mampu berlari dengan cepat menantang
kemiringan gunung berpasir tebal. Kira-kira pukul 12.00 kami telah berada di
puncak. Disitu sudah ada dua atau tiga kelompok yang tengah bersantai ria.
Mereka menyalami kami. Dan kami pun berfoto bersama. Dan momen yang tak
terlupakan adalah peristiwa pembaptisan Miya Ketangrejo.
“Atas nama
saya sendiri, disaksikan para bapa baptis: Jufri Soputan, Yanli Soputan, Chaves
Soputan, saya membaptis kamu dengan pasir ini. Dan mulai sekarang namamu adalah
Miya Ketangrejo Soputan,” kataku sembari menuangkan pasir hitam ke kepala gadis
Bolmong itu.
Orang-orang
agak terkesima melihat luapan emosi kami yang terkemas dalam sebuah “ritual”.
Kami senang berada di puncak itu. Tapi kadang-kadang terasa mencekam bila
tiba-tiba angina bertiup kencang disertai kabut tebal. Jarang pandang menjadi
begitu terbatas. Kendati begitu, rasa senang dan bangga akan penakhlukan puncak
Soputan terus berlanjut mengiring langkah-langkah kepulangan kami ke tenda di
Base Camp. Rasa lelah perlahan melingkupi kami. Tak semua itu terbayar oleh
pencapaian kami.
Dalam
perjalanan pulang kami memungut kayu bakar. Dua potongan kayu yang berukuran
besar dipikul oleh dua pemuda tangguh, Jufri dan Chaves. Sesampai di tenda kami
membuat api dan memasak. Yang lain membersihkan diri di pancuran. Yang lain
memasak air pengusir dingin. Sudah itu kami masak untuk makan malam. Kian malam
kian riuh. Para pendaki dari tenda lain datang bertanda ke tenda kami.
Barangkali karna Miya adalah magnetnya. Sepanjang malam Base Camp disarati
riuh, canda tawa dan desiran angin yang membelai pumpunan pohon pinus.
Add caption |
20 April 2014 (Base Camp-Pinus 1-Tonsewer-Tumaratas-Touure-Taraitak-Langowan-Remboken-Tataaran)
Kami bangun kesiangan. Tidak sesuai
rencana awal. Setelah sarapan dan packing
kami kembali menuruni jalur yang kami lewati dua hari sebelumnya. Panas
mentari pagi dan gerak raga bekerjasama untuk mengalirkan keringat dari tubuh
kami. Mampir mengisi air di botol air minum di pancuran. Sesekali aku berhenti
dan mencium dedaunan berwarna putih karena belerang. Semakin ke bawah air dan
semua yang dilewatinya berubah menjadi kuning. Di Pancuran berikutnya, dekat longsor, kami
juga mengambil air.
Tiba di Pos 1 sekitar 45 menit
kemudian. Aku kaget mengetahui ternyata di pos itu terdapat kantin beratap
terbal. Mereka menjual pisang goreng dan Saguer.
Ingin sebenarnya mencicipi namun uang sudah taklah cukup. Taklah lama kami
beristirahat di Pinus 1. Kami tak mengikuti rute melewati desa Pinabetengan
lagi. Kami mengambil jalur kanan, melewati desa Tonsewer, Tumaratas, Touure,
Taraitak dan Langowan. Setelah perjalanan jauh dengan kaki yag melelahkan itu,
dari ujung Langowan kami dibolehkan menumpang gratis di sebuah mobil hitam ke area pasar, dekat
gereja sentrum Shwarsze. Lama kami menunggu disitu. Semua anggota tim nampak
kewalahan. Dan barangkali tak sanggup lagi berjalan kaki menuju area yang kami
rasa pas untuk melakukan D.O. Untung saja, sebuah mobil pickup lewat dan membawa kami ke Remboken. Kami begitu gembira. Kami
turun di Remboken lalu menunggu lagi kira-kira satu jam. Disitu sebuah mobil pickup berhenti dan mengijinkan kami
naik. Kami turun tepat di depan rumah pondokan Iswadi. Disitu kami bertemu tiga
hari lalu. Disitu pula, kami berjabat tangan dan berjanji untuk bertemu lagi serta
saling melempar lambaian tangan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar