Kamis, 15 Mei 2014

MENANTANG SEMBURAN API SOPUTAN




[Sebuah Catatan Perjalanan]
Oleh Iswan Sual


18 April 2014 (Tataaran-Langowan-Pinabetengan-Pinus 1-Base Camp)

“Kyapa blum siap? So lebe tinggi matahari tu ini!” kataku setelah melirik ke jam yang terdapat di ponselku. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 wita. Aku dan teman-teman lain sedang menunggu seorang gadis yang katanya tertarik untuk gabung dengan tim kami. Aku sendiri tak yakin bila gadis itu akan turut serta. Alasannya, hanya dia satu-satunya wewene yang bakal ikut serta dan kami belum saling kenal. Sedangkan kegiatan kami akan berlangsung kurang lebih tiga hari di hutan. Atau tepatnya di belantara gunung Soputan. Gadis itu tiba bersamaan dengan Handy Legi yang datang dengan membawa sebuah tabung gas. Kata mereka, setelah kutanya kenapa mereka membeli gas, mereka berikhtiar memasak beras yang telah dibungkus dengan daun kaboro semalam yang baru lalu. Sudah sempat dimasak pada jam 1 dini hari, lalu terhenti lantaran kompor kehabisan gas.
Lumayan lama kami menunggu. Untung saja masing-masing kami punya selera humor. Jadi, kami dapat membunuh waktu dengan baik. Si gadis yang bernama Miya hingga kini belum berujar sepata kata kepada kami. Kecuali kepada Yanli. Wajar saja. Mereka sudah saling kenal di kampus. Setelah salah satu dari kami memimpin doa perjalanan, kalau tidak salah Yanli yang mendapatkan kesempatan itu, kami pun mulai bergerak dan menantang cubitan mentari pagi. Keraguanku sirna tatkala melihat si Miya, seorang gadis Mongondow, juga sudah menarik tas dukung dan melemparnya ke punggungnya sendiri. Kami berjalan menuju jalan depan gereja kampus UNIMA. Disitu kami berharap dapat mencegat mobil yang kebetulan menuju ke Langowan atau Kawangkoan. Dengan cara hitchhiking pastinya. Orang Manado bilang D.O. singkatan dari Dola Oto. Secara harafiah artinya cegat mobil.
Begitu kami tiba disitu kebaktian gereja minggu hendak dimulai. Suasana terlihat mulai agak gaduh. Untuk menghormati mereka yang beribadah kami pindah ke area yang jalannya agak miring, di tempat yang agak somu-somu. Tak lagi terjangkau oleh mata jemaat geraja itu. Kurang lebih 100 meter dari depan gereja ke arah Remboken. Kami menunggu dekat pumpunan pepohonan bambu. Tiupan angin perlahan mencipta desiran di antara dedaunan dan pohon bamboo. Kami menyebutnya pohong bulu, jenis bulu taki. Yang kami tunggu adalah jenis mobil pick up atau open cap. Hanya kira-kira setengah jam kami menunggu. Bahkan mungkin kurang. Sopir yang berbaik hati menghentikan dump truck (?) yang dia kendarai tepat saat aku yang berperan sebagai hitchhiker. Kendaraan berwarna kekuning-kuningan itu penuh debu dan nampak reyot dan bocor di sana-sini. Kalau tidak ektra hati-hati, kami beresiko masuk ke dalam lubang-lubang menganga itu. Dan akan terluka oleh sayatan tajamnya.
Tak dapat digambarkan rasa senang di setiap wajah kami. Tiupan angin di atas truk yang melaju membuat kami mesti berteriak ketika bicara. Itu membuat gaduh dan seru. Hanya seorang yang tak tampak ekspresi senangnya. Ada terukir rasa pastiu atau mungkin malu bila dilihat teman-temannya di atas kendaraan berbadan besar itu. Mungkin pula karena itu pengalaman pertama sehingga gembira telah bercampur gugup.
Kami diturunkan di pasar Langowan, tepat di jalan pertigaan ke arah Tompaso, biasa kami menyebutnya Tompaso Lama. Sopir yang penuh tato itu begitu ramah dan baik hati. Barangkali, umurnya 20-an. Dengan lembut dia menyambut dan mengucap perpisahan kepada kami. Padahal kalau dia tak mengucap sepata kata, dia 100 % kelihatan seperti seorang preman alias penjahat.  Di depan bengkel yang tutup kami berenam menunggu kendaraan menuju Kawangkoan atau desa Pinabetengan. Kira-kira setengah jam kami menunggu. Yanlilah si tukang D.o-nya. Mobil open cap yang dikendarai seorang lelaki paruh baya membolehkan kami mengecap nikmat perjalanan dengan suguhan pemandangan yang sangat indah di sepanjang jalan Langowan-Tompaso. Hamparan rumah dengan beraneka gaya, sawah dan bukit-bukit kecil membuat kami larut sejenak. Nyaris saja kami lupa turun lantaran terlena oleh rayuan kemolekan wajah alam yang kami lewati.
Penakhlukan Soputan oleh Komunitas Pecinta Alam Tumondei (KPAT)


Iswan Sual di puncak Soputan
Di Perempatan kami turun. Di samping kiri ada sebuah kafe yang enak dipandang mata. Dari situ kami berjalan kaki dan menyusuri jalan beraspal kira-kira 2 kilo meter ke desa Pinabetengan. Di sebelah kanan dan kiri kami masih saja disuguhi pemandangan elok. Meski dari jauh kami bisa juga melihat Bukit Kasih dan lokasi Batu Pinabetengan. Dua situs yang berdekatan namun dikatakan orang bertentangan. Yang satu pusat agama tua/lokal, agama yang tidak diakui keberadaannya. Satunya lagi situs religius dari semua agama impor luar negeri yang diakui negara. Selain itu kami melewati stadion pacuan kuda dan Kampus Pa’dior Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. Gambar Chaves Tiwa dan Handy Legi di tempat itu sempat kuabadikan. Mereka berdiri pas di depan papan nama besar.
Di desa Pinabetengan kami singgah di beberapa warung untuk membeli kebutuhan kami nanti selama berada di gunung: air mineral, makanan, minyak tanah dll. Udara terasa begitu panas. Matahari seolah membakar tubuh kami. Ini membuat kami harus beberapa kali berhenti  kemudian berteduh di bawah pohon. Saat baru memasuki perkebunan di luar desa, kami memutuskan berhenti untuk makan siang. Kasur pun digelar di atas rumput dan nasi kaboro serta abon dikeluarkan. Peserta yang tadinya enggan bicara sudah mulai membuka diri untuk percakapan dengan kami. Kami mulai membahas tentang kegiatan-kegiatan mahasiswa di kampus. Topik jurnalisme atau dunia tulis menulis menjadi topik yang menarik. Sembari menikmati makanan yang kuanggap lezat itu ringkikan kuda dan sapi terdengar. Sampai-sampai, ada dari kami sesekali meniru suara mereka saat sedang dalam perjalanan beberapa waktu kemudian. Sebuah metode yang cukup ampuh untuk mengusir penat dan kelelahan.
Selanjutnya kami berjalan menanjak mengikuti jalur jalan roda. Beberapa kali kami berhenti untuk menyesuaikan kecepatan langkah dengan seorang peserta yang baru kali itu nae gunung. Tapi setiap perhentian bukanlah sebuah kerugian. Sebab, waktu itulah kami bisa bercanda dan mengambil foto pemandangan yang luar biasa. Bahkan ada saja teman yang secara sukarela membagi cerita-cerita lucu. Semakin kami menanjak, pemandangan alam semakin elok nan menarik. Bukit-bukit kecil, pemandangan kota Langowan, Tondano dan danaunya, serta ladang sayur mayur yang menggiurkan. Sebelum masuk hutan kami mampir sebentar untuk duduk dekat sebuah gubuk. Dari situ kami dapat melihat dengan jelas Minahasa bagian tengah. Kira-kira 15 menit kemudian kami tiba di Pos 1. Nama lainnya adalah Pinus Satu. Dinamakan demikian lantaran area itu disarati pohon pinus. Lama kami berhenti di situ. Saya bercerita. Terkadang isinya kosong. Sedang yang lainnya larut dalam permainan. Yanli Sengkey dan Jufri Mogogibung saling lempar buah tomat yang ditinggalkan peserta yang baru turun. Di Pos 1 ini terdapat banyak tempat duduk yang terbuat dari kupas, kayu yang dibela dengan chainsaw secara agak kasar. Kami bertemu beberapa kelompok pendaki yang hendak turun. Kami berkenalan sambil berjabat tangan. Namun sayangnya, tak satu pun nama tertancap dalam ingatan. Hanya asal kampung mereka yang sempat terekam. Ada yang datang dari Ratahan, Manado, Sonder, dan Bitung. Medan jalan semakin mudah begitu kami meninggalkan Pos 1. Bukan mendaki. Lebih banyak mendatar dan kadang-kadang menurun. Kecuali saat melewati pancuran di dekat longsor. Kami harus melewati tebing sambil menaiki pohon tumbang yang menyilang. Dari situ kurang lebih lima menit kami tiba di sungai kecil, yang saya beri nama Salu Kuni’ atau sungai kuning. Kami melawan aliran sungai ini hingga tiba di sebuah pancuran lagi, yang terletak di dekat Pos 2. Juga disebut Pinus Dua atau Base camp. Sayang sungguh sayang, pancuran ini sudah nyaris penuh dengan tumpukan sampah plastik. Padahal area itu adalah area sumber air bersih terakhir yang terdekat dengan puncak gunung. Tulisan “Jangan buang sampah disini!” tidak menginsafkan para pembuang sampah itu.

19 April 2014 (Base Camp-Pos Panorama-Puncak Anak Soputan)

Mau tak mau kami harus menundah perjalanan kami ke puncak. Karena hari sudah gelap. Tambah lagi, perut kami sudah keroncongan. Dan memang, umumnya, semua pendaki mengambil langkah yang sama. Berhenti, mendirikan tenda, memasak dan makan lalu istirahat untuk mengembalikan tenaga. Dua terpal berwarna coklat cepat terpasang dan membentuk sebuah tenda kecil. Para lelaki dalam tim semua cekatan dan cepat mengambil inisiatif. Tak perlu banyak diarahkan. Cukup diberi panutan maka mereka hati mereka tergerakkan. Namun, harus kami akui bahwa peristirahatan kami tidak terlalu baik di malam itu. Udara begitu dingin. Semua lebih memilih keluar tenda dan merapat dekat api. Nyaris tak ada kelengangan di pos itu. Orang-orang terus berdatangan dan mendirikan tenda pun menjelang subuh. Pantas saja kami tak bisa beristirahat dengan baik. Sebentar-sebentar kembali ke tenda dan mengejab mata, sebentar-sebentar terbangun oleh suara gaduh para pendaki yang lain. Barangkali kami bangun sekitar jam 7 pagi. Waktu terlewati dengan kegiatan memasak, bersih-bersih dan berdiskusi. Tentang banyak hal. Selanjutnya kami packing  dan melanjutkan perjalanan. Hanya tenda yang tidak kami bongkar. Tenaga baru dan semangat yang bergelora memacuh kami berjalan tergesa-gesa menyusuri hutan menuju pos selanjutnya, Pos Panorama/Pemandangan. aku, bukan hanya aku, tetapi semua kami terkagum senang tatkalah sampai di pos itu. Di tempat itu kami mengambil foto diri kami sendiri dengan latar belakang hutan pinus dan kawah, bukit dan jurang di sebelah kiri dan kanan. Di area ini kami juga dapat mengaktifkan ponsel dan memperbaharui status jejaring sosial Facebook kami. Sekedar untuk memberitahu kepada dunia luar atau untuk menyombongkan pencapaian kami. Di pos ini aku merasa seperti menjadi salah satu pelakon dalam film Twightlight. Film Vampire yang diperankan oleh orang-orang yang berwajah rupawan. Suasana semakin dramatis ketika kami tiba di ujung pos Panorama. Di depan terbentang jurang lebar menganga. Nampak di depan dua puncak berwarna hitam. Yang tinggi sedang mengeluarkan asap. Di puncak yang agak rendah, orang bilang itu Anak Soputan, tepancang bendera merah putih. Disitulah kami hendak menuju. Waktu berdiri di teping pos Panorama, kegugupan melandah ragaku. Sempat kulontarkan kepada teman-teman bahwa mungkin aku tak berani naik.
“Mo nae jot orang? So gugup kita noh,” kataku terus terang. Bukan untuk menurunkan semangat juang mereka. Tapi lebih pada ungkapan jujur yang tak mau sok berani.
“Kalu torang, mana-mana!” kata mereka kompak. Sekejab itu moralku bangkit dan keberanian pun melompat keluar. Seperti ada tenaga luar biasa baru disuntikkan ke tubuhku.
Kami mulai pun turun. Mendahului para pendaki lain yang Nampak sudah lama berdiri dekat tebing itu. Medan terlihat sulit. Namun rasa ingin mengenggam pasir hitam puncak Soputan begitu menggebu-gebu. Sesekali kami jedah dan mengambil nafas. Kadang juga berhenti untuk minum dan makan. Darah dalam pembulu kami semakin memompa begitu kian dekat dengan puncak. Semakin dekat semakin kami menanjak. Kami harus menggunakan ampa kaki alias scrambling. Tenaga kian berkurang. Anehnya Jufri Mogogibung dan Chaves masih mampu berlari dengan cepat menantang kemiringan gunung berpasir tebal. Kira-kira pukul 12.00 kami telah berada di puncak. Disitu sudah ada dua atau tiga kelompok yang tengah bersantai ria. Mereka menyalami kami. Dan kami pun berfoto bersama. Dan momen yang tak terlupakan adalah peristiwa pembaptisan Miya Ketangrejo.
“Atas nama saya sendiri, disaksikan para bapa baptis: Jufri Soputan, Yanli Soputan, Chaves Soputan, saya membaptis kamu dengan pasir ini. Dan mulai sekarang namamu adalah Miya Ketangrejo Soputan,” kataku sembari menuangkan pasir hitam ke kepala gadis Bolmong itu.
Orang-orang agak terkesima melihat luapan emosi kami yang terkemas dalam sebuah “ritual”. Kami senang berada di puncak itu. Tapi kadang-kadang terasa mencekam bila tiba-tiba angina bertiup kencang disertai kabut tebal. Jarang pandang menjadi begitu terbatas. Kendati begitu, rasa senang dan bangga akan penakhlukan puncak Soputan terus berlanjut mengiring langkah-langkah kepulangan kami ke tenda di Base Camp. Rasa lelah perlahan melingkupi kami. Tak semua itu terbayar oleh pencapaian kami.
Dalam perjalanan pulang kami memungut kayu bakar. Dua potongan kayu yang berukuran besar dipikul oleh dua pemuda tangguh, Jufri dan Chaves. Sesampai di tenda kami membuat api dan memasak. Yang lain membersihkan diri di pancuran. Yang lain memasak air pengusir dingin. Sudah itu kami masak untuk makan malam. Kian malam kian riuh. Para pendaki dari tenda lain datang bertanda ke tenda kami. Barangkali karna Miya adalah magnetnya. Sepanjang malam Base Camp disarati riuh, canda tawa dan desiran angin yang membelai pumpunan pohon pinus.
Add caption




20 April 2014 (Base Camp-Pinus 1-Tonsewer-Tumaratas-Touure-Taraitak-Langowan-Remboken-Tataaran)

Kami bangun kesiangan. Tidak sesuai rencana awal. Setelah sarapan dan packing kami kembali menuruni jalur yang kami lewati dua hari sebelumnya. Panas mentari pagi dan gerak raga bekerjasama untuk mengalirkan keringat dari tubuh kami. Mampir mengisi air di botol air minum di pancuran. Sesekali aku berhenti dan mencium dedaunan berwarna putih karena belerang. Semakin ke bawah air dan semua yang dilewatinya berubah menjadi kuning.  Di Pancuran berikutnya, dekat longsor, kami juga mengambil air.
Tiba di Pos 1 sekitar 45 menit kemudian. Aku kaget mengetahui ternyata di pos itu terdapat kantin beratap terbal. Mereka menjual pisang goreng dan Saguer. Ingin sebenarnya mencicipi namun uang sudah taklah cukup. Taklah lama kami beristirahat di Pinus 1. Kami tak mengikuti rute melewati desa Pinabetengan lagi. Kami mengambil jalur kanan, melewati desa Tonsewer, Tumaratas, Touure, Taraitak dan Langowan. Setelah perjalanan jauh dengan kaki yag melelahkan itu, dari ujung Langowan kami dibolehkan menumpang gratis  di sebuah mobil hitam ke area pasar, dekat gereja sentrum Shwarsze. Lama kami menunggu disitu. Semua anggota tim nampak kewalahan. Dan barangkali tak sanggup lagi berjalan kaki menuju area yang kami rasa pas untuk melakukan D.O. Untung saja, sebuah mobil pickup lewat dan membawa kami ke Remboken. Kami begitu gembira. Kami turun di Remboken lalu menunggu lagi kira-kira satu jam. Disitu sebuah mobil pickup berhenti dan mengijinkan kami naik. Kami turun tepat di depan rumah pondokan Iswadi. Disitu kami bertemu tiga hari lalu. Disitu pula, kami berjabat tangan dan berjanji untuk bertemu lagi serta saling melempar lambaian tangan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar