[Sebuah
Reportase]
Oleh Iswan
Sual
Pagi itu
fajar menunaikan tugas sebagaimana mestinya. Dua hari lalu dia datang terlambat
karena ditawan kawanan awan hitam. Kulihat dia menyungging sembari menebar
cahya terik dimana-mana kali ini. Kadang-kadang dia mencubit kulitku. Untung
saja pepohonan dengan sukarela bersedia menjadi tameng. Berat di punggung
menambah beban telapak kaki menekan bumi. Kunikmati sangat perjalananku menuju
kompleks perumahan Maesa Unima. Lagi-lagi, tempat itu ditetapkan sebagai titik
temu pendakian kami. Pendakian kali ke gunung Tampusu. Sejam lamanya aku
menanti. Sempat membeli ikan kaleng dan air minum di sebuah warung. Begitu
kembali ke titik temu, belum lagi teman-teman pendaki menunjukkan batang hidung
mereka. Kira-kira jam sepuluh barulah semua terkumpul. Jumlah yang tak pernah
kuduga. Enam belas orang terkumpul menjadi satu tim untuk mendaki gunung
Tampusu, gunung kecil yang indah. Jumlah pendaki perempuan pun lebih
mencengangkan! Lima orang perempuan! Pertama dalam sejarah pendakian kami.
Kebanyakan peserta
adalah mereka yang baru kali pertama mendaki bersama kami sebagai kelompok
dengan nama Komunitas Pecinta Alam Tumondei. Salah satu anggota Komunitas
Pecinta Alam Tekzas Tondei, Charli Lowing, juga ikutserta. Selengkapnya inilah
nama-nama peserta pendakian gunung Tampusu: Yanli Sengkey, Billy Ompi, Risky
Tambaani, Meldi Sual, Chaves Tiwa, Jufri Mogogibung, Randy Pangemanan, Reza
Limpele, Handy Legi, Della Palapa, Helmy Kumajas, Miya Ketangrejo, Dewi Sanusi,
Iswan Sual, Charli Lowing, Jenifer Djabala.
Kami
bersepakat untuk melalui jalur jalan kebun. Itulah jalur terdekat. Kondisi
jalan berbatu timbul. Sudah pada tahap pengerasan. Satu langkah sebelum
pengaspalan. Medannya tak susah. Tanjakkan pula tak sulit. Jelas alat berat
dikerahkan untuk pengerjaan jalan itu. Di saat kami menoleh ke belakang,
pemandangan indah dengan latar kota Tondano, Remboken dan Danau Tondano bak
suasana ruang belakang surga. Elok sangat!
Kira-kira
empat kali kami melakukan pemberhentian sebelum masuk hutan dan membuka jalur
baru. Jalur yang kami buka adalah jalur yang enteng dan cepat. Meldi dan Charli sempat mengambil daun kaboro (daun pembungkus nasi di
Minahasa) dalam perjalanan menuju puncak. Hujan mengguyur tatkalah tumpahan air
dari langit kian banyak volumenya. Hanya Yanli dan Della yang terlindungi oleh
ponco. Sedangkan lainnya harus basah kuyup.
Setelah
tiba di puncak kami lanjutkan dengan menurun. Becek menyebabkan jalan licin.
Beberapa kali anggota tim ada yang terperosok. Letupan tawa selalu mengiringi
kejadian seperti itu. Itu menjadi semacam adegan lucu yang menghibur tatkalah
pendaki tegang dan lelah berjalan. Itu menjadi semacam pemberi energi baru bagi
para pendaki yang tengah dililit penat dan capek. Hanya butuh kira-kira 15
menit untuk sampai di base camp yang
terletak di pinggiran danau. Danau yang nampak seram tatkalah kabut berkerumun
di atasnya.
Hari ketika
kami tiba dan mendirikan tenda adalah Sabtu 10 Mei 2014. Besoknya kami cabut dan hanya meninggalkan jejak. Di tempat itu kami bertemu
teman-teman lain yang berasal dari Tondei. Mereka adalah Aldy Kumajas, Cupes
Pangaila dan Charli Wongkar. Kami juga bertemua David Sumampow dan Tian Paat,
Mahasiswa UNIMA yang sudah kerap bertemu di rumah kos Iswadi dan tempat lain.
Hari
pertama kami datang hujan langsung menemani. Pun ketika kami berupaya
mendirikan tenda. Tendaku yang masih baru itu tak lama. Secepat hitungan satu,
dua, tiga. Tenda yang dari terpal butuh waktu lebih lama. Sehingga, meski dingin
melilit kami harus terus ulet untuk menyelesaikannya. Beberapa orang dari kami
lalu berinisiatif memasak air untuk membuat kopi panas. Sudah itu nasi pun
tersedia. Makan malam dengan menu yang agak variatif. Selain ikan sardin, ada
juga lauk dari katak yang dipungut di pinggiran dana. Handy Legi, Chaves Tiwa
dan Risky Tambaani paling demen dengan
kegiatan buru berburu semacam itu. Saat malam larut semua pun mencari selamat.
Cari selamat dari tusukan dingin malam. Tentu saja aku dan tiga orang lain yang
paling nyaman. Betapa tidak, kami mendiami tenda yang tertutup rapat. Jam demi
jam terlewati dengan nyaman. Di kejauhan terdengar bentakan senior kepada para
junior. Kebetulan ada kegiatan MAPALA juga disitu. Terdengar juga petikan gitar
yang merdu. Lainnya hanya ledakan gelak tawa di dalam tenda. Mungkin mereka
saling tukar cerita lucu.
Tak ada
kewajiban bangun pagi. Karena kami sedang liburan. Tapi besoknya aku memilih
bangun lebih awal. Meski harus bergulat dengan udara yang menusuk sum-sum.
Ingin aku menyaksikan kabut yang digeser pelan-pelan oleh cahya mentari.
Inginku melihat ekor malam yang turut bersahabat. Ingin pula ku menyaksikan
nelayan dari desa terdekat melihat jerat yang dipasangnya sehari sebelum.
Setelah kurasa puas dengan jalan-jalan pagi itu, aku kembali lagi. Berharap
bisa membenam diri lagi di dalam sleeping
bag yang masih baru itu. Tapi,
harapan itu tak bisa kuraih lagi. Seseorang, entah siapa sudah lebih dulu
membenam.
Jam-jam
kemudian diisi dengan mandi dan memasak. Beberapa teman sempat kulihat bermain
perahu-perahuan. Mereka seperti bocah-bocah yang tak puas dengan masa kecil.
Atau barangkali mereka bisa dikategorikan sebagai orang-orang yang telah bosan
dengan formalitas kedewasaan yang kaku. Kedewasaan adalah keterkekangan, menurutku.
Kebebasan lebih banyak dialami bocah-bocah ingusan. Mereka bisa lepas. Kadang
selepas-lepasnya. Pagi ini sempat kulihat dua atau tiga rombongan meliwati
tenda kami. Kuduga mereka itu dari luar daerah. Ikat kepala mereka menunjukkan
bahwa asal mereka adalah pulau Bali. Rombongan lain dalah kelompok pecinta alam
lokal. Semua mereka berpamit-pamitan dengan kami. Padahal semalam mereka
kedengarannya begitu liar lantaran mabuk. Pagi ini sangat terlihat mereka
seperti jinak.
Tak banyak yang kami lakukan sesudah itu. Hanya rapat untuk memilih
pengurus tetap Komunitas Pecinta Alam Tumondei. Rapat dimulai dengan distribusi
formulir calon anggota. Lalu diikuti dengan penjelasan dari Yanli Sebagai ketua
sementara. Dia dan Hendy Legi menjadi pemimpin yang ditunjuk beberapa minggu
yang lalu. Akhirnya Jufri Mogogibung terpilih menjadi ketua umum. Sekretarisnya
Aldy Kumajas. Sedangkan bendahara adalah Meldi Sual. Tak ada yang menggugat
hasil itu. Semua setuju. Habis itu pelantikan pengurus langsung dihelat. Ketiga
pemimpin tertinggi itu langsung disuruh masuk ke dalam danau selama beberapa
waktu hingga gigi-gigi atas bawah mereka saling menghantam dan tubuh mereka
berguncang. Sudah itu ya packing. Dan
bersiap untuk pulang. Kepulangan kami sedikit tertahan karena ada seseorang
yang mengaku berasal dari desa terdekat, Pangolombian. Dilihat dari
penampilannya, aku berani bilang umurnya 17. Kulitnya terang. Rambutnya keriwil
dan berekor. Dari dia aku tahu ada buah di hutan yang selama ini aku kira tak
bisa dimakan, ternyata bisa. Dari mulutnya kudengar mitos danau Tampusu. Dari
mulutnya juga aku dengar bahwa sebenarnya Tampusu pernah mau dirampas Parepei
dari pakasaan Remboken. Tapi bisa dihalang oleh seorang pahlawan dari pakasaan
Tombulu. Tak peduli cerita itu bohong atau kosong. Yang penting adalah dia
seorang anak muda di jaman modern tapi masih memiliki cukup bekal yang dibawa
dari masa lalu. Tentu orang-orang tua, leluhur kita, akan bangga pada tou Minahasa macam dia yang bangga
menceritakan kisah lokal, kisah turunan Toar dan Lumimuut dan bangga dengan
tanahnya. Sudah jarang anak Minahasa yang seperti dia itu. Kebanyakan telah
hanyut oleh budaya pop terutama budaya
yang lagi trend saat ini, K-Pop.
doe kita suka mo nae tampusu rupa asik di sana no dia pe pemandangan kua
BalasHapus