Kamis, 15 Mei 2014

TAMPUSU: GUNUNG MUNGIL DENGAN SEJUTA KESAN




[Sebuah Reportase]

Oleh Iswan Sual


Pagi itu fajar menunaikan tugas sebagaimana mestinya. Dua hari lalu dia datang terlambat karena ditawan kawanan awan hitam. Kulihat dia menyungging sembari menebar cahya terik dimana-mana kali ini. Kadang-kadang dia mencubit kulitku. Untung saja pepohonan dengan sukarela bersedia menjadi tameng. Berat di punggung menambah beban telapak kaki menekan bumi. Kunikmati sangat perjalananku menuju kompleks perumahan Maesa Unima. Lagi-lagi, tempat itu ditetapkan sebagai titik temu pendakian kami. Pendakian kali ke gunung Tampusu. Sejam lamanya aku menanti. Sempat membeli ikan kaleng dan air minum di sebuah warung. Begitu kembali ke titik temu, belum lagi teman-teman pendaki menunjukkan batang hidung mereka. Kira-kira jam sepuluh barulah semua terkumpul. Jumlah yang tak pernah kuduga. Enam belas orang terkumpul menjadi satu tim untuk mendaki gunung Tampusu, gunung kecil yang indah. Jumlah pendaki perempuan pun lebih mencengangkan! Lima orang perempuan! Pertama dalam sejarah pendakian kami.
Kebanyakan peserta adalah mereka yang baru kali pertama mendaki bersama kami sebagai kelompok dengan nama Komunitas Pecinta Alam Tumondei. Salah satu anggota Komunitas Pecinta Alam Tekzas Tondei, Charli Lowing, juga ikutserta. Selengkapnya inilah nama-nama peserta pendakian gunung Tampusu: Yanli Sengkey, Billy Ompi, Risky Tambaani, Meldi Sual, Chaves Tiwa, Jufri Mogogibung, Randy Pangemanan, Reza Limpele, Handy Legi, Della Palapa, Helmy Kumajas, Miya Ketangrejo, Dewi Sanusi, Iswan Sual, Charli Lowing, Jenifer Djabala.
Kami bersepakat untuk melalui jalur jalan kebun. Itulah jalur terdekat. Kondisi jalan berbatu timbul. Sudah pada tahap pengerasan. Satu langkah sebelum pengaspalan. Medannya tak susah. Tanjakkan pula tak sulit. Jelas alat berat dikerahkan untuk pengerjaan jalan itu. Di saat kami menoleh ke belakang, pemandangan indah dengan latar kota Tondano, Remboken dan Danau Tondano bak suasana ruang belakang surga. Elok sangat!
Kira-kira empat kali kami melakukan pemberhentian sebelum masuk hutan dan membuka jalur baru. Jalur yang kami buka adalah jalur yang enteng dan cepat.  Meldi dan Charli sempat mengambil daun kaboro (daun pembungkus nasi di Minahasa) dalam perjalanan menuju puncak. Hujan mengguyur tatkalah tumpahan air dari langit kian banyak volumenya. Hanya Yanli dan Della yang terlindungi oleh ponco. Sedangkan lainnya harus basah kuyup.
Setelah tiba di puncak kami lanjutkan dengan menurun. Becek menyebabkan jalan licin. Beberapa kali anggota tim ada yang terperosok. Letupan tawa selalu mengiringi kejadian seperti itu. Itu menjadi semacam adegan lucu yang menghibur tatkalah pendaki tegang dan lelah berjalan. Itu menjadi semacam pemberi energi baru bagi para pendaki yang tengah dililit penat dan capek. Hanya butuh kira-kira 15 menit untuk sampai di base camp yang terletak di pinggiran danau. Danau yang nampak seram tatkalah kabut berkerumun di atasnya.
Hari ketika kami tiba dan mendirikan tenda adalah Sabtu 10 Mei  2014. Besoknya kami cabut dan hanya meninggalkan jejak. Di tempat itu kami bertemu teman-teman lain yang berasal dari Tondei. Mereka adalah Aldy Kumajas, Cupes Pangaila dan Charli Wongkar. Kami juga bertemua David Sumampow dan Tian Paat, Mahasiswa UNIMA yang sudah kerap bertemu di rumah kos Iswadi dan tempat lain.
Hari pertama kami datang hujan langsung menemani. Pun ketika kami berupaya mendirikan tenda. Tendaku yang masih baru itu tak lama. Secepat hitungan satu, dua, tiga. Tenda yang dari terpal butuh waktu lebih lama. Sehingga, meski dingin melilit kami harus terus ulet untuk menyelesaikannya. Beberapa orang dari kami lalu berinisiatif memasak air untuk membuat kopi panas. Sudah itu nasi pun tersedia. Makan malam dengan menu yang agak variatif. Selain ikan sardin, ada juga lauk dari katak yang dipungut di pinggiran dana. Handy Legi, Chaves Tiwa dan Risky Tambaani paling demen dengan kegiatan buru berburu semacam itu. Saat malam larut semua pun mencari selamat. Cari selamat dari tusukan dingin malam. Tentu saja aku dan tiga orang lain yang paling nyaman. Betapa tidak, kami mendiami tenda yang tertutup rapat. Jam demi jam terlewati dengan nyaman. Di kejauhan terdengar bentakan senior kepada para junior. Kebetulan ada kegiatan MAPALA juga disitu. Terdengar juga petikan gitar yang merdu. Lainnya hanya ledakan gelak tawa di dalam tenda. Mungkin mereka saling tukar cerita lucu.
Tak ada kewajiban bangun pagi. Karena kami sedang liburan. Tapi besoknya aku memilih bangun lebih awal. Meski harus bergulat dengan udara yang menusuk sum-sum. Ingin aku menyaksikan kabut yang digeser pelan-pelan oleh cahya mentari. Inginku melihat ekor malam yang turut bersahabat. Ingin pula ku menyaksikan nelayan dari desa terdekat melihat jerat yang dipasangnya sehari sebelum. Setelah kurasa puas dengan jalan-jalan pagi itu, aku kembali lagi. Berharap bisa membenam diri lagi di dalam sleeping bag yang masih  baru itu. Tapi, harapan itu tak bisa kuraih lagi. Seseorang, entah siapa sudah lebih dulu membenam.
Jam-jam kemudian diisi dengan mandi dan memasak. Beberapa teman sempat kulihat bermain perahu-perahuan. Mereka seperti bocah-bocah yang tak puas dengan masa kecil. Atau barangkali mereka bisa dikategorikan sebagai orang-orang yang telah bosan dengan formalitas kedewasaan yang kaku. Kedewasaan adalah keterkekangan, menurutku. Kebebasan lebih banyak dialami bocah-bocah ingusan. Mereka bisa lepas. Kadang selepas-lepasnya. Pagi ini sempat kulihat dua atau tiga rombongan meliwati tenda kami. Kuduga mereka itu dari luar daerah. Ikat kepala mereka menunjukkan bahwa asal mereka adalah pulau Bali. Rombongan lain dalah kelompok pecinta alam lokal. Semua mereka berpamit-pamitan dengan kami. Padahal semalam mereka kedengarannya begitu liar lantaran mabuk. Pagi ini sangat terlihat mereka seperti jinak.
Tak banyak yang kami lakukan sesudah itu. Hanya rapat untuk memilih pengurus tetap Komunitas Pecinta Alam Tumondei. Rapat dimulai dengan distribusi formulir calon anggota. Lalu diikuti dengan penjelasan dari Yanli Sebagai ketua sementara. Dia dan Hendy Legi menjadi pemimpin yang ditunjuk beberapa minggu yang lalu. Akhirnya Jufri Mogogibung terpilih menjadi ketua umum. Sekretarisnya Aldy Kumajas. Sedangkan bendahara adalah Meldi Sual. Tak ada yang menggugat hasil itu. Semua setuju. Habis itu pelantikan pengurus langsung dihelat. Ketiga pemimpin tertinggi itu langsung disuruh masuk ke dalam danau selama beberapa waktu hingga gigi-gigi atas bawah mereka saling menghantam dan tubuh mereka berguncang. Sudah itu ya packing. Dan bersiap untuk pulang. Kepulangan kami sedikit tertahan karena ada seseorang yang mengaku berasal dari desa terdekat, Pangolombian. Dilihat dari penampilannya, aku berani bilang umurnya 17. Kulitnya terang. Rambutnya keriwil dan berekor. Dari dia aku tahu ada buah di hutan yang selama ini aku kira tak bisa dimakan, ternyata bisa. Dari mulutnya kudengar mitos danau Tampusu. Dari mulutnya juga aku dengar bahwa sebenarnya Tampusu pernah mau dirampas Parepei dari pakasaan Remboken. Tapi bisa dihalang oleh seorang pahlawan dari pakasaan Tombulu. Tak peduli cerita itu bohong atau kosong. Yang penting adalah dia seorang anak muda di jaman modern tapi masih memiliki cukup bekal yang dibawa dari masa lalu. Tentu orang-orang tua, leluhur kita, akan bangga pada tou Minahasa macam dia yang bangga menceritakan kisah lokal, kisah turunan Toar dan Lumimuut dan bangga dengan tanahnya. Sudah jarang anak Minahasa yang seperti dia itu. Kebanyakan telah hanyut oleh budaya pop terutama  budaya yang lagi trend saat ini, K-Pop.



Pelantikan Pengurus Inti Komunitas Pecinta Alam Tumondei  (KPAT)

1 komentar:

  1. doe kita suka mo nae tampusu rupa asik di sana no dia pe pemandangan kua

    BalasHapus