(Laporan
perjalanan ke puncak gunung Lolombulan 28-29 Juni 2014)
Perjalanan II
Oleh Iswan
Sual
Perjalanan
ke pegunungan Lolombulan kali ini adalah perjalanan kali kedua. Yang pertama
kami lakukan pada 9-10 Mei 2013 dengan
anggota 9 orang. Kesemuanya dari Tondei. Jalur yang kami lalui waktu itu
ditempuh dari perkebunan Punti, wilayah kepolisian desa Tondei. Pada kesempatan
ini kami mengambil jalur yang berbeda. Kami masuk hutan Lolombulan dari desa
Raanan Baru. Yang masuk dalam tim pendakian kami juga bukan hanya dari desa
Tondei. Saya, Jufri Mogogibung, Berry Tamba dan Ferlandi Wongkar adalah empat
orang dari Tondei. Sedangkan Hesky Pangaila dan Vidi Wowor berasal dari
Motoling. Barten Natan Kopalit berasal dari Kakaskasen Tomohon. Rivo berasal
dari Kapataran, Tondano. Erick berasal dari Bahu, Manado. Dan Vini dan Christy,
dua orang gadis, berasal dari Lompad Baru.
Dari Tondei
kami menggunakan tiga sepeda motor. Milik saya, milik Ferlandi dan milik Jufri.
Yanli Sengkey dan Rianto Wongkar turut mengantar kami ke desa Raanan Baru.
Rianto sempat memimpin doa perjalanan kami sebelum berangkat dari Raanan Baru
ke base camp atau Pos 1. Awalnya
memang agak sedikit mengecewakan ketika kami tiba di lokasi yang disepakati menjadi
titik pertemuan kami, kantor camat Motoling Barat. Begitu tim Komunitas Pecinta
Alam Tumondei (KPAT) tiba, Vidi Wowor langsung menyampaikan maaf karena
beberapa anggotanya di Komunitas Pecinta Alam Bebas (KPAB) Lolombulan Motoling
membatalkan keikutsertaan mereka. Ada kesibukan dalam pesta pernikahan,
katanya.
Selanjutnya,
kami tinggal menunggu rombongan pendaki yang start dari Tomohon pimpinan Hesky
Pangaila. Kami menghubungi telpon genggamnya. Lalu kami tahu bahwa ternyata
mereka telah lama menunggu di rumah Hukum Tua Raanan Baru. Ternyata kami semua
lumayan tepat waktu. Sesuai perjanjian kami bertemu di kantor camat pukul 03.00
sore. Ketika bertemu rombongan Hesky sempat terjadi basa-basi untuk saling
menyesuaikan diri. Sebab ada lima orang yang belum kami kenal. Kami saling
jabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Tak butuh waktu lama kami sudah
bisa saling akrab. Canda tawa di antara kami langsung meledak dan menghancurkan
dinding penyekat kekakuan.
Halaman
rumah dan beberapa kursi dipinjamkan oleh tuan rumah yang ada di sebelah kantor
camat itu. Bapak dan ibunya ramah dan mau menerima kami. Percakapan hangat
berlangsung singkat dan turut menambah semangat mendaki kami. Kurang lebih 15
menit kami disitu. Setelah kenyaman diantara satu sama lain telah terjalin kami
yang berjumlah 11 orang memutuskan untuk memulai perjalanan. Kami mengambil
jalan baru menuju bak air Raanan Baru. Adalah semua sistem perairan yang modern
dan nampak sangat bagus sekali. Bak penampungan air yang besar, dua gedung dengan
atap bercat biru berdiri megah. Areanya juga dipagari kawat yang kokoh. Kami
berbelok ke kiri sebelum menyentuh pagar area bak air itu. Melewati jalan
sedikit miring. Di tepi jalan dua ekor sapi tengah menikmati rumput palango yang subur. Sapi-sapi itu gemuk
perawakannya. Dekat situ ada sepasang suami istri sedang menurunkan kopra dari pakopra’an. Tangan dan wajah mereka
hitam oleh jelaga dan arang. Sempat pula kami saling melempar gurauan. Ada satu
dua orang dari kami yang diijinkan mengambil kompra untuk dimakan. Jalanan yang
baru diguyur hujan langsung mengubah warna celana dan pakaian kami. Aku
beberapa kali terperosok ke dalam kubangan air
dan lumpur. Barangkali kejadian itu dirasa lucu sehingga gelak tawa pun
pecah tatkala aku berteriak sesal oleh karena terperosok. Ada yang tawanya
terumbar. Ada juga yang keluar dalam rupa cekikian. Sedikit tertahan tapi bisa
didengar.
“Pe soe
skali eh! Orang taisi di pece, ngoni cuma tatawa. Emplas bakutulung angka,”
secara spontan yang dengar tertawa dann kian menjadi.
Di
sepanjang jalan tanaman paku, orang
Indonesia menyebutnya pakis, yang subur, menggoda langkah-langkah aku dan
Jufri. Kami pun berinisiatif memetik pakis-pakis itu. Kami tak tahan dirayu
oleh bayangan kelezatannya bila telah dimasak. Pohon kelapa dan cengkeh
terdapat dimana-mana. Kadang-kadang terlihat juga pohon coklat yang telah
berwarna kuning lantaran sudah matang. Saat kami akan memasuki hutan, Vidi
langsung menginformasikan bahwa kami akan mendirikan tenda di situ. Sesuai
kesepakatan kami, sewaktu masih di kantor camat, bahwa kami belum akan
meneruskan perjalanan ke puncak hari itu. Hari telah dekat malam soalnya. Kami
mesti menghabiskan malam di area yang dianggap vidi cocok dijadikan sebagai base camp. Disitu terdapat air mengalir
yang jernih. Ada bak air yang lebih kecil yang yang kami lihat sebelumnya.
Rupanya bak itu adalah bak air lama sumber air orang Raanan Baru. Saya dan Vidi
mengecek lokasi di dekat air. Dan kami menemukan area yang datar dan dekat
jalan lebar. Jalan bekas orang menarik kayu-kayu yang ditebang di hutan. Di
pinggiran bak itu terdapat sisa peralatan pengolahan sagu. Dan yang menarik
adalah bak itu memiliki pancuran air yang besar. Wah, pasti tempat itu akan
jadi tempat sempurna untuk menginap malam ini, begitu celetukku dalam hati.
Tak butuh
waktu lama bagi kami untuk mendirikan empat tenda di lokasi itu. Tiga tenda dengan kapasitas dua orang. Dan
satu tenda dengan kapasitas empat orang. Pembersihan area dari rumput tak
menguras banyak tenaga. Namun, setelah selesai hujan mengguyur kami. Siraman
hujan itu kuanggap sebagai sapaan lembut Lolombulan terhadap kami para pecinta
alam. Memang, hujan itu menambah keakraban di antara kami. Karena hujan itu
kami jadi saling bahu membahu memasang terpal dan flysheet untuk melindungi tenda dari basah. H
ujan itu pula yang mendorong kami supaya segera memasak air untuk membuat kopi hangat. Dan, sembari minum kopi, percakapan akrab pun hadir di antara kami.
ujan itu pula yang mendorong kami supaya segera memasak air untuk membuat kopi hangat. Dan, sembari minum kopi, percakapan akrab pun hadir di antara kami.
Ketika
malam datang suasana sedikit mencekam. Aroma angker dan mistis tercium jelas. Sudah
beberapa kali tenda kami dilempar. Dua orang di antara tim mengaku melihat lo’lok, makhluk kecil mirip manusia yang
dipercaya orang Minahasa punya kemampuan
terbang atau melompat dari satu pohon ke pohon lain. Konon, makhluk ini sering
membawa manusia ke dunia mereka. Dua teman dari tim kami menyebutkan bahwa
mereka masing-masing melihat makhluk itu bertengger di daun pohon dekat bak air
dan duduk di batu di dekat pancuran. Suasana semakin mencekam tatkalah seorang
gadis kesurupan. Ini yang membuat kami tak bisa tidur nyenyak waktu itu. Baru
kira-kira pukul 3 kami bisa terlelap. Lain halnya dengan Jufri dan Berry,
mereka seolah hilang ditelan tenda sepanjang malam. Besoknya kami sama-sama
tahu ternyata lemparan pada tenda yang kami dengar semalam sebelumnya adalah
buah-buah kecil yang jatuh dari pohon besar yang tak jauh dari situ.
Tidur kami
yang singkat terputus saat terdengar suara gaduh dua gadis berbincang penuh
energi di dekat pancuran. Sudah bisa diduga siapa mereka. Mereka mempergunakan
kantuk berat kami untuk membersihkan badan. Percakapan panjang mereka yang
menggebu-gebu akhirnya membangunkan kami sepenuhnya. Apalagi ketika teman-teman
lain disuruh keluar dari tenda lantaran para putri cantik itu hendak
menggunakan tenda untuk bertukar pakaian. Saya yang berdiam di tenda sebelah
pun bangun dan berjalan menyusuri perkebunan sekitar untuk menghirup udara pagi
dan menangkap sinar mentari sembari memetik sayur pakis yang bertebaran
dimana-mana. Selanjutnya, waktu diisi dengan percakapan, minum kopi susu dan
makan siang serta packing sebagai
persiapan menuju puncak kuntung Lolombulan.
Gunung dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter dpl.
Dari base camp kami menuju ke perkebunan yang
terdapat banyak tanaman coklat. Dari situ kami masuk hutan dengan menanjakki
kemiringan sepanjang 100 meter. Sudah itu kami mengikuti punggung kuda, area
yang sempit dimana kiri kanannya terdapat jurang. Semakin kami masuk ke dalam
hutan, semakin jelas jalannya. Lintah-lintah pun kian berani melompat, menempel
dan menghisap darah. Kami menemui jalur tukang
captikus. Kami mengambil jalan kiri. Lalu kanan dan menanjak lagi. Kami
senantiasa mengikuti jalur yang ditandai tali rafia merah dan biru yang diikat melingkar
pada pohon. Di area dimana terdapat longsor yang terletak disebelah kanan kami
berhenti sejenak. Cuka yang Vidi dapatkan dari tampa bacaptikus diteteskan pada linta-linta yang sudah gendut mendadak
karena tubuh mereka penuh darah. Aku terheran-heran melihat kenyataan bahwa cuka
itu mampu membuat linta-linta itu jatuh ke tanah. Di area longsor itu kami
sempat mengambil foto dengan latar belakang ujung gunung Soputan. Area itu
memang sedikit terbuka. Dan barangkali area itu satu-satunya di gunung Lolombulan yang terbuka seperti
itu. Lolombulan memang masih merupakan gunung perawan alias masih terjaga baik
dibanding hutan Kalabat, Soputan dan Tampusu. Memang penebangan marak terjadi.
Tapi keadaannya tak separah hutan-hutan lainnya di Sulawesi Utara. Gunung
Lolombulan juga masih sangat jarang didaki oleh kelompok-kelompok pecinta alam.
Dari area
longsor itu, kelak kami menyebutnya Pos Pemandangan (Panorama), kami berjalan
menyusuri jalan yang tak sulit hingga kami tiba di area datang yang sangat
luas. Kira-kira beberapa hektar luasnya. Area itu terletak di antara dua
gunung. Ibaratnya kami berada di antara buah dada perempuan. Dekat situ di
utara terdapat pancuran dengan air yang sangat sedikit. Kami memilih untuk
menanjak payudara di sebelah kiri. Karena itulah yang tertinggi. Kurang lebih
15 menit perjalanan kami ke puncak. Pemandangan desa-desa di kecamatan Tenga
sempat tersungguhkan di depan mata setiap kami. Hanya saja pohon-pohon sedikit
pelit memberi celah untuk melihat pemandangan yang lebih luas lagi. Dari situ
juga kami bisa melihat desa Tiniawangko. Kami tiba di puncak pukul 12.00. Di puncak itu kami tak bisa melihat
pemandangan sekitar yang lebih rendah. Desa kami, Tondei tak bisa tertangkap
mata. Di puncak terdapat lubang panjang berbentuk huruf L. Ada informasi yang
mengatakan bahwa sebenarnya lubang L itu adalah paal buatan Belanda untuk menandakan ketinggian gunung. Banyak
orang bilang, orang-orang tua di desa kami, bahwa di puncak Lolombulan juga
terdapat sebuah bak besar yang sudah dililiti akar dan lumput sehingga tak
terlihat.
Saya dan Jufri
termasuk orang yang tak puas pada waktu itu. Mencapai puncak taklah memberi
rasa bahagia yang penuh. Kami butuh pemandangan. Akhirnya, saya dan Jufri
berkeliling di sekitar situ untuk mencari area terbuka dimana kami bisa
menikmati pemandangan. Kami tak menemukannya. Aku memutuskan untuk memanjat
pohon. Barulah aku bisa melihat ujung desa Tiniawangko dan keseluruhan dusun
jauh Pelita, bagian dari desa Tondei. Keseluruhan desa kami tak terjangkau
mata. Dihalangi kuntung Kantil, Rakowulan dan Lincewulan. Saya sempat mengambil
berberapa gambar. Demi itu tangan saya sempat tertusuk dan terjepit duri rotan.
Jufri juga ikut memanjat pohon begitu aku melompat turun. Ferlandi juga
menyusul saya dan Jufri. Tapi dia tak tertarik melihat pemandangan dari atas
pohon. Tak lama sesudah itu kami pun bergabung dengan rombongan yang masih saja
berfoto ria di sekitar lubang L. Jam 1 kami turun dari puncak dengan melewati
jalan yang sama. Sempat saya dan Berry bertemu cacing raksasa. Awalnya kami
mengira itu seekor ular. Setelah kami perhatikan dengan seksama dan
menyentuhnya, baru kami tahu itu adalah cacing. Ternyata hutan Lolombulan tak
hanya identik dengan linta, tapi juga cacing raksasa. Ketika kami tiba di tenda
nasi goreng telah dibuatkan untuk kami oleh Hesky. Tapi tidak cukup untuk
semua. Masih perlu masak lagi. Dia memang tidak ikut bersama kami ke puncak
demi menjaga tenda dan peralatan lainnya. Katanya situasi menjadi aneh ketika
dia sendirian. Ada suara-suara yang memanggil.
Setelah
makan siang kami meminta ijin Vidi agar kami dapat menyisipkan acara Diksar
Materi Basah KPAT dan Pelantikan dua anggota baru. Kami perlu minta ijinnya
karena kami sadar bahwa kegiatan pendakian ke Lolombulan adalah kegiatan KPAB
Lolombulan Motoling. Status kami hanyalah undangan. Jadi, kami perlu menerapkan
sopan santun. Berry Tamba dan Ferlandi Wongkar resmi dilantik di base camp itu. Teman-teman dari
komunitas lain turut membantu memberi pemahaman kepada dua anggota baru itu.
Begitu semua tuntas kami pun angkat kaki dari situ. Di kantor camat Yanli dan
Rianto sudah menunggu dengan sabar. Rupanya kami agak terlambat. Jam 3 lewat
baru kami tiba disitu. Tak lama kami saling pamit lalu berpisah. Perasaan
senang dan puas mengikuti hingga kami tiba di rumah. Cerita tentang pengalaman
itu kembali diceritakan begitu kami sampai. Kami menceritakannya dengan bangga.
Layaknya para waraney (pahlawan)
Minahasa yang, baru pulang dari medan perang, bercerita pada anak-anak mereka.