(catatan perjalanan 29-31 Maret 2014)
Oleh Iswan
Sual
Berawal
dari bincang-bincang kurang serius di jejaring sosial Facebook. Itulah
asal mula rencana perjalanan kami menuju
puncak gunung Kalabat. Gunung tertinggi di Sulawesi Utara. Tingginya kurang
lebih 2000 meter. Ya, memang nampaknya komunikasi begitu yang lebih efektif
ketimbang bertemu tatap muka untuk membicarakan program di organ kami.
Ya…masing-masing-masing punya aktivitasnya. Paling banyak dari mereka adalah mahasiswa.
Aku sendiri kerja di kota Manado. Anggota yang lain kerja juga di kampung kami,
Tondei. Jadi, pertemuan formal tidaklah dibutuhkan untuk merencanakan
program. Memang selama ini formalitas
sedapat mungkin kami jauh-jauhkan demi menghilangkan kekakuan serta kebekuan dalam
organisasi kami. Karena kekakuan dan kebekuan organisasi sering membunuh
kreatifitas.
Ok…saya
lanjut ke tujuan utama sama membuat tulisan ini, yaitu menceritakan pengalaman
kami sewaktu mewujudkan impian menakhlukkan gunung Kalabat.
Sabtu, 29 Maret 2014
Pagi-pagi
sekitar jam 7 kami telah saling menghubungi menggunakan telpon genggam. Empat
orang tinggal di area kampus UNIMA, kota Tondano: Yanli Sengkey, Della Palapa,
Risky Tambaani dan Charli Wongkar. Empat orang lainnya tinggal di desa kami,
yakni Rianto Wongkar, Chaves Tiwa, Glendi Wongkar dan Jufri Mogogibung. Saya
sendiri tinggal di Manado. Demi mempermuda kami semua, saya mengusulkan agar
titik pertemuan pertama adalah Tondano. Teman-teman dari desa Tondei bertemu
dengan teman-teman di Tondano. Dari situ mereka bergerak menuju kota Airmadidi
yang terletak di Kabupaten Minahasa Utara. Saya satu-satunya yang bergerak dari
Manado menuju Airmadidi, sebuah negeri yang mayoritas orang dari sub suku
Minahasa, Tonsea.
Saya tiba
sekitar jam 11.30. Dan mereka yang di Tondano belum tiba. Ternyata mereka berencana
hendak datang dengan cara “DO” (Dola Oto) alias mengharap diberi tumpangan oleh
mobil yang kebetulan menuju ke Airmadidi. “Wow! Itu nampaknya bukan ide yang
baik. Waktu yang diperlukan untuk mendapat mobil itu taklah tentu. Bisa saja
saat malam,” kataku melalui telpon. “Sebaiknya kalian naik bus saja. Karena
kita harus mendaki sebelum hari terlalu sore. DO bisa dilakukan saat kita
pulang nanti.”
Alasannya
adalah ini adalah pendakian kami yang pertama di gunung itu. Jadi harus
dilakukan pada kala jalan bisa dilihat dengan jelas. Untuk mengurangi resiko
tersesat di hutan belantara yang belum kami kenal. Apalagi saat aku bicara melalui telpon hujan
sedang deras-derasnya. Tambah lagi, pemilik kios dimana aku membeli kudapan dan
air mineral mengatakan bahwa musim hujan biasanya mengundang linta. Wah, udah bisa
dibayangkan bagaimana jadinya bila kami tersesat di malam hari sambil diserang
linta.
Tak lama
kemudian sebuah pesan singkat kuterima dari Della Palapa. Katanya mereka sudah
berada di terminal Tumatenden Airmadidi, tapi belum bisa langsung bertemu saya
karena hujan masih asyik mengguyur. Ketika hujan sudah agak redah kusarankan
agar mereka mulai berjalan menuju kantor Kepolisian Sektor Airmadidi. Kami perlu
melaporkan pendakian kami. Dari kejauhan kulihat rombongan dengan orang-orang
yang sudah barang tentu aku kenal. Dari kostumnya dan dari gaya berjalannya.
Ada senyum terukir di semua wajah. Sedikit gugup tapi nampak mereka telah
membulatkan niat mendaki gunung, yang menurut informasi yang kudapat dari blog,
dipenuhi pasir. Aku sih tak tak mengkhatirkanku. Karena tanah lebih sulit
dilalui daripada pasir. Setidaknya, itu kudapat dari pengalamanku.
Saya
mencatatkan semua nama anggota yang akan mendaki. Semua kami berjumlah 9 orang.
Angka keramat bagi orang Minahasa. Karena bunyi 9 kali burung manguni, biasanya
adalah tanda baik. Saat sudah diiyakan bapak polisi yang bertuga, saya meminta
Rianto untuk memimpin doa perjalanan kami. Kami melakukannya tepat di pintu
masuk kantor Polsek Airmadidi. Selanjutnya kami mencari kios untuk membeli
bahan makanan, tali untuk tenda dan lainnya. Sayangnya di kios pertama kami tak
mendapatkan minyak tanah. Menurutku itulah yang paling penting. Sebab tanpa itu
kami tidak bisa memasak dan kami bisa mati kedinginan di hutan nanti. Untung
saja kami bertemu anak-anak kecil yang baru saja turun dari pohon manggis yang
agaknya bukan milik mereka. Basa-basi dengan mereka membuahkan hasil yang menggembirakan.
Salah satu dari mereka meminta teman mereka yang memiliki sepeda motor untuk
mengantar kami ke sebuah kios yang menjajahkan minyak tanah. Jaraknya lumayan
jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Saya dan Jufry Mogogibung pergi dengan
diantar oleh seorang anak yang berumur masih belasan, saya pikir. Di kios itu
pemandangan yang tak mengenakkan terjadi. Pasangan suami istri memarahi
habis-habisan anak gadis mereka yang sedang menjaga kios. Teriakan yang diserta
makian membuat pelanggan tersentak. Tidak hanya itu. Sang ibu sempat kulihat
menempeleng gadis itu. Tak tahu pasti apa sebabnya. Tapi, kemarahan orang tua
meninggi waktu putrid mereka menangis sambil komat-kamit. Tentu saja, kami para
pembeli, tak bisa melakukan apa-apa. Pasti akan menambah masalah. Menghilangkan
masalah tanpa menciptkan masalah sulit dilakukan dalam situasi itu.
Kami
melanjutkan perjalanan. Melewati “jalan tol” (highway). Disitu terlihat sebuah
ikon menggelikan. Sebuah patung menora (kaki dian) besar berdiri di bukit
Airmadidi utara yang menghadap ke kota Airmadidi. Pernah kubaca dari koran
lokal bahwa kaki dian itu adalah yang terbesar di dunia. Mengalahkan kaki dian
di Israel. Yang jadi pertanyaan adalah mengapa simbol Israel atau Yahudi itu
ada di tanah Minahasa. Apakah orang Minahasa keturunan Yahudi? Atau ada sesuatu
yang hendak disampaikan. Tidak cukupkah gedung-gedung gereja dengan salibnya
untuk menunjukkan bahwa Kristen adalah mayoritas? Kenapa bukan patung Manguni
yang megah yang dibangun? Itu kan simbol tou Minahasa? Barangkali rasa
penasaran itulah yang menuntun kami sehingga kami menyusuri jalan aspal menuju
bukit kaki dian itu. Meski hujan lebat. Untung saja kami sempat bertanya pada
dua orang pria di satu sabua.
Ternyata kami mengambil jalan yang salah!
“So sala
jalang ngoni! Depe jalang ada di bawa!” teriak pemuda yang sedang memasukan
barang-barang ke dalam sabua sebelum
menyatu dengan air.
Dengan
sedikit mengeluh kami menurun jalan itu lagi. Aku melihat tiga orang berjalan
di bawah kasur demi melindungi diri dari hujan. Tapi sia-sia. Hujan begitu
lebat. Hanya Yanli dan Della yang mengenakkan jas hujan. Aku telah basah kuyub
sedari 10 menit lalu. Kami belok ke kiri ketika menemukan pumpunan pepohonan
bambu. Terus kami telusuri jalan itu. Kira-kira 300 meter kemudian kami
menemukan di sebelah kanan sebuah batu besar yang sudah ditulisi. Isinya
kira-kira tentang peresmian gunung Kalabat sebagai tujuan wisata oleh seorang
gubernur. Kami menganggap itu sebagai Pos 1. Ternyata tidak. Kami sejauh ini
sudah berjalan selama 90 menit. Kurang lebih 100 meter dari situ kami menemukan
sebuah gubuk yang berdiri tepat di persimpangan jalan. Setelah disarankan oleh
seorang wanita muda yang sedang mengendarai sepeda motor, kami mengambil jalur
kiri. Jalannya sudah di-paving. Kelompok lain, Kelompok Pecinta Alam (KPA) dari
Manado mengambil jalur kanan. Dan jalur itu salah. Kami sempat tertawa
terbahak-bahak ketika melihat mereka berjalan di belakang kami kemudian dengan
nafas terengah-engah. Padahal beberapa menit lalu mereka mengambil jalur kanan
dan mereka dengan terburu-buru melewati kami.
Jalanan
mulai menanjak ketika kami kian berada di tengah-tengah pohon-pohon yang lebat.
Itu pertanda kami sedang memasuki hutan. Dan ternyata kami belum mencapai Pos 1.
Della kelihatan mulai kelelahan. Langkah-langkah kami otomatis serentak
melambat. Kami harus menyesuaikan langkah kami dengan yang paling lambat. Dan
orang yang paling lambat harus berada paling depan agar dia tak ketinggalan.
Itulah aturan tak tertulis dalam mendaki gunung. 15 menit kemudian kami tiba di
Pos 1. Hanya sejenak kami istirahat di situ. Tapi saya menyarankan agar kami
melanjutkan perjalanan sebelum hari benar-benar gelap. Kami harus tiba di Pos 2
palng kurang jam 5.30 untuk membuat tenda. Karena di situlah tempat yang baik
untuk berhenti. Di situ terdapat air, tempatnya agak terbuka dan agak datar
pula. Saat kami tiba, saya langsung mengambil “alih komando”. Secepat kilat
tenda pun sudah berdiri dan layak ditempati. Berkat kecepatan Glendi, Jufri,
Yanli, Charli, Risky, Chaves dan Rianto kayu bakar pun tersedia. Sedangkan aku
bertindak sebagai koordinator alias “tukang ator” hahahahaha….
Malam kami
lewati dengan perut yang tak diisi nasi. Hanya sedikit air, biskuit dan kue
cucur yang sempat kubeli di kios tempat aku menunggu anggota lain yang berangkat
dari Tondano. Yang paling sulit barangkali Yanli. Dia tidur dengan pakaian
basah enteru. Meskipun dia tidur di
antara lainnya tetap saja raungan lantaran dingin keluar dari mulutnya. Aku
sendiri tidur paling tepi. Baju kering yang kukenakan ikut basah oleh tas
punggung yand diletakan di pinggir tenda. Karena tak tahan dengan kedinginan
dan raungan serta batuk dingin
teman-teman, aku pun keluar dari tenda dan menyalahkan api yang besar dengan
bantuan minyak tanah. Lama, baru kami bisa mendapatkan api yang bagus. Maklum,
semua kayunya “bangka aer”. Beberapa orang dari KPA Manado yang kebetulan
bermungkim dekat tenda terpal kami turut mendekat untuk mengecap sedikit panas
api. Mendadak suasana menjadi gaduh. Padahal hari masih jam 2 subuh. Teman-teman
setenda saling berebut memanggang pakaian basah mereka. Sampai-sampai beberapa
di antaranya hangus oleh api. Keheningan hutan tak ada lagi. Canda tawa
menyebar ke sekitar. Kusaksikan area Pos 2 begitu ramai. Berjejer tenda-tenda
lainya. Namun sayangnya kami tak sempat berkenalan sebab mereka sudah lebih
dulu melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kamu hanya terdiam kagum melihat
semangat juang mereka melawan dingin dan terpaan hujan.
Minggu, 30 Maret 2014
Sekitar jam
6.30 Rianto dan kawan-kawan lainnya sudah berinisiatif membuat makanan dan
minuman. Sedang saya mengambil waktu untuk tidur sejenak lagi untuk
mengumpulkan tenaga. Kami berangkat menuju ke Pos selanjutnya sekitar jam 7.
Hanya butuh masing-masing 30 menit untuk ke Pos 3 dan Pos 4. Di antara Pos 3
dan Pos 4 kami harus bergelut dengan tanjakkan yang disebut “tangga helikopter”.
Jalan berbatu di kemiringan yang curam. Namun, itu tak merendahkan semangat
kami. Malahan, kami berlomba sambil bercanda melewatinya.
Di Pos 5
kami bisa menyusul dua rombongan dari KPA lain. terlihat mereka sedang memasak
mie instan dengan konfor dan peralatan canggih. Dari sini tanjakkan semakin
curam. Aku dan Della menjadi orang yang paling terkebelakang dari tim. Di Pos
inilah titik penentuan apakah kami benar-benar punya jiwa penakhluk atau
penakut. Rasa sakit pada kaki dan paha semakin menyiksa. Belum lagi rasa lapar
yang mulai menuntut. Untunglah di sepanjang jalan kami menemukan aliran air dan
sendang atau kolam kecil yang berisi air jernih dan segar.
“Co kwa’
lia tu botol da isi akan aer. So ba ombong. Sama deng baru ambe dari kulkas,”
kata Yanli. Kami hanya menyambut pernyataan itu dengan tertawa geli.
Langkah
kami semakin lemah dan sedikit gemetar. Nyaris tiap 5 meter kami berhenti.
Orang-orang yang sedang turun dari puncak ada yang menyemangati kami. Tapi ada
juga yang sedikit sinis dan mengejek. Saat kami bertanya tentang jarak ke
puncak, mereka menjawab secara bervariasi. Ada yang bilang masih sekitar 1 km. Ada
juga yang bilang, “O korang dekat.” Della yang selalu berharap melihat monyet,
permintaannya terkabul saat seekor monyet (yaki) meliwati jalan melalui
pepohonan. Sesekali monyet itu berhenti seolah berusaha berkomunikasi dengan
kami. Mungkin sekedar basa-basi atau sambutan selamat datang di gunung Kalabat.
Tak bisa digambarkan kegirangan Della dengan kemunculan monyet berjambul dan
berpantat merah itu.
Aku selalu
bilang pada teman-teman supaya tidak usah memikirkan jarak. Dan tidak usah
berambisi untuk segera mencapai puncak. Karena menurutku mendaki adalah
pembelajaran tentang proses dan hasil. Perjalanan ke puncak harus juga
dinikmati. Bukan hanya suasana puncaknya.
Langkah
kami menjadi cepat lagi tatkalah sudah terang di hadapan kami bahwa kami sudah
di puncak. Ternyata belum. Kami baru berada di Pos 6 dimana terdapat danau
kecil. Di area ini kami mendapati banyak tenda didirikan. Saya meminta
teman-teman yang sudah lama tiba agar segera mencari tempat untuk mendirikan
tenda. Tapi tak ada tempat kosong. Semua telah diduduki oleh tenda-tenda
pendaki lain. Tenda-tenda yang dibeli di toko. Karena tak ada tempat, saya
langsung menyarankan kepada Jufri agar kami mendirikan tenda di puncak saja.
Itu ide yang tak terlalu bagus, mengingat dinginnya udara di puncak yang
menusuk tulang. Butuh sekitar 20 menit lagi dari Pos 6 ke puncak. Pergumulan
terasa kian berat tapi pendakian tetap kami lakukan dengan semangat karena
diimingi oleh pesona puncak.
Begitu kami
tiba suasana sedang ramai. Orang-orang sementara turun ke Pos 6 setelah
menikmati matahari terbit (Sunrise). Aku langsung meminta teman-teman untuk
mendirikan tenda dan mencari bakar serta memasak. Butuh waktu yang agak lama
untuk makan. Karena lagi-lagi, semua kayu basah. Tapi kami sedang dalam suasana
sangat senang. Kami kini berada di titik paling tinggi di Sulawesi Utara. Dari
sini kami bisa melihat kota Bitung, Manado, Airmadidi, Tondano, Likupang,
bahkan sebagian kota Tomohon. Kami berada di atas awan! Kami membuang nafas
lega dan bangga.
Sehari
penuh kami habiskan dengan jalan-jalan di sekitar tenda, menikmati pemandangan,
mengambil foto, melihat bunga-bunga dan pepohonan yang hanya ada di puncak
gunung. Kami berkenalan dengan beberapa anggota komunitas lain. kami bertegur
sapa dengan sopan. Saling mendahului dalam memberi jalan dan hormat. Canda tawa
terdengar dimana-mana. Secara hiperbola, kusebut itu sebagai suasana sorga.
Tatkalah
hari semakin sore, semua sudah berkumpul lagi di tenda. Udara dingin membuat
kami cepat lapar. Dan tentunya di puncak gunung, sore hari, kami lebih
membutuhkan api daripada air. Apalagi malam. Kami makan malam dengan menu apa
adanya: nasi, ikan kaleng, mie. Kopi telah habis. Ya unik adalah teman-teman
lain menikmati daging tikus yang diburu oleh Chaves dengan hanya mengandalkan
bunyi mulut dan sepotong kayu. Saat hari sudah malam, kami adalah satu-satunya
kelompok yang tertinggal sendiri di puncak. Lainnya telah turun ke Pos 6 untuk
menghindari dekapan angin malam yang menusuk tulang. Kami menyadari itu begitu
suasana telah lengang. Hanya suara kami yang terdengar. Namun, tentu kami tak
ikut-ikutan turun. Godaan pemandangan malam dengan kelap-kelip lampu kota
Bitung, Airmadidi dan Manado begitu kuat menahan kami.
Setelah
makan malam, tak ada alasan untuk tinggal di luar tenda. Semua harus masuk.
Tekanan udaran dingin semakin beringas. Aku merasakan efeknya. Mata mulai berair
dan menetes. Sakit kepala. Tulang-tulang bagai ditusuk-tusuk. Namun, kami tetap
gaduh. Mungkin itu adalah sebuah pengalihan. Ada yang iseng berebut selimut
atau sepenggal kain yang digunakan untuk menutup kaki. Semakin larut semakin
kami menjadi susah tidur. Chaves berinisiatif bangun dan memperbesar nyala api.
Barangkali dialah yang paling menderita saat itu. Karena dia hanya menggunakan
pakaian satu lapis. Kaos tipis dan celana pendek. Aku saja, berlapis tiga,
pakai topi kupluk, berkaos tangan dan kaki, tetap merasakan cengkraman dingin.
Apalagi dia. Oh Chaves!
Senin, 31 Maret 2014
Menikmati
matahari terbit di puncak Kalabat adalah pengalaman yang luar biasa. Dan kami
menikmatnya dengan sangat. Udara dingin pergi menjauh seiring datangnya sang
mentari yang muncul di balik awan. Ditemani biskuit dan minuman panas kami
melewati pagi dengan tenang dan tentram. Sesuai jadwal kami harus turun gunung
pagi-pagi. Namun, rasa tak rela muncul tiba-tiba. Enggan meninggalkan surga. Enggan
berpisah dengan kayangan. Enggan kembali ke tempat yang penuh hiruk pikuk dan
semrawut. Tapi, apa boleh buat. Kami harus bangun dari mimpi dan kembali ke dunia
sebenarnya.
Kami
menuruni puncak, melewati Pos 6, 5, 4, 3 dengan agak enteng. Sempat melihat
seekor monyet lagi yang menyeberangi jalan. Nampaknya itu ucapan selamat
bertemu darinya. Di Pos 3 kami berhenti dan makan masakan Rianto. Saya dan
Della sempat berkunjung ke sebuah sendang dekat Pos itu. Suasana sejuk dan pemandangan
elok begitu terasa. Di sana kami mencuci peralatan makan. Teman-teman lainnya
mencari kayu bakar. Sempat tidur sejenak sebelum makan siang.
Kami
melanjutkan perjalanan dengan kaki yang sakit. Sampai-sampai perjalanan menjadi
sedikit melambat. Kami menggunakan waktu beristirahat di setiap Pos atau titik
henti untuk bersenda gurau dan tentunya mengambil foto… Kami tiba di kota
Airmadidi, singgah melapor di kantor polisi. Selanjutnya menuju persimpangan
jalan ke Tondano. Tak sampai 5 menit mobil pick up berwarna hitam berhenti
setelah saya cegat. Rasa lelah sejenak hilang ketika melihat teman-teman saya
sudah melompat ke atas mobil dan sedang membawa mereka. Aku sempat melihat
Glendi melambai… Doa dan harapku mereka tiba di tujuan dengan selamat.
Aku sendiri
langsung berjalan kaki ke terminal Tumatenden Airmadidi dan naik mikro menuju
Paal Dua. Dari Paal Dua aku mencegat mobil ke pasar 45….. sekarang aku telah
kembali ke kota….bising, udara yang tercemar….tapi pikiranku masih di puncak
Kalabat…menghirup udara segar, meneguk air sejuk, merasai angin sepoi-sepoi nan
lembut….Kalabat Oh Kalabat….sampai jumpa di lain waktu.
***