oleh Iswan Sual
Berawal
dari cirita mabo [1]
lalu menjadi cerita heboh. Demikian pemerihan Festival “Marantong” Tondei Raya
yang dihelat pada 1 Januari 2014 lalu. Peristiwa itu memang benar adanya. Ide
penggelaran acara Festival “Marantong” ini dimulai dari obrolan beberapa orang
(kesemuanya telah menikah) di sebuah warung di desa Tondei. Ide ini barangkali
muncul dari kegelisahan mereka yang menyaksikan perayaan tahun baru yang tahun
demi tahun kian kemoderen-moderenan, yang tak sedikit menyita banyak uang dan
membenamkan identitas daerah. Rupanya orang-orang yang tengah bermiras itu
masih memiliki kesadaran bahwa kita (tou Minahasa) terus digerus oleh
kecenderungan tradisi modern yang semakin tak memberi ruang bagi budaya lokal
untuk berkembang. Dan tradisi modern yang mahal dan kurang dipaham itu telah
cukup membuat mereka muak. Maka keluarlah ide untuk menggelar suatu kegiatan
yang menarik, menantang dan merupakan hasil daya cipta orang-orang lokal. Yang
langsung terpikir adalah tradisi Marantong. Seingat mereka tradisi ini terakhir
kali dilaksakan di ro’ong Tondei sekitar tahun 1990-an. Waktu itu aku masih
duduk di bangku sekolah dasar. Anggapan itu tak benar karena pada 2012 lalu
bertepatan dengan HUT ro’ong Tondei ke-99 Sanggar Tumondei dideklarasikan
berdirinya dan dalam acara itu digelar pula permainan rakyat yang disebut
Marantong sebagai salah satu mata acara. Namun peserta yang menyaksikan kurang
dari 200 orang. Barangkali itulah alasannya sehingga ada anggapan bahwa
permainan rakyat itu baru digelar ulang pada 2014.
Sedikit
keliru sebenarnya ketika kegiatan ini dilabeli Marantong. Karena yang
sebenarnya permainan rakyat itu bernama Mareng
i Lele. Nama permainan ini berasal dari kata bahasa Tontemboan yang berarti
mengembalikan lidi.
Tradisi
mareng I lele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Mapulus Ma’ando atau kerja
sama membersihkan kebun atau merombak hutan untuk dijadikan perkebunan.
Kelompok Mapulus memiliki undang-undang atau aturan-aturan yang dikreasi untuk
membuat proses dan hasil Mapalus menguntungkan semua orang. Aturan tersebut
menyangkut soal diantaranya sopan santun, ketepatan waktu dan mutu pekerjaan.
Setiap pelanggaran diganjar dengan pukulan lidi pada bagian tubuh di bawah
lutut. Jumlah pukulan lidi disesuaikan dengan jenis kesalahan. Kesalahan yang
besar akan dihukum dengan lebih banyak pukulan lidi. Biasanya yang melaksanakan
tugas (eksekutor) adalah seorang yang diberi gelar Marantong. Barangkali karang
tokoh sentral dari permainan rakyat ini adalah si Marantong sendiri sehingga
lambat laun nama permainan, yakni mareng I lele berganti menjadi Marantong.
Tadinya
Festival Marantong direncanakan pas setelah makan siang selesai. Sekitar jam 1
dan 2. Saat itu dirasa orang-orang telah banyak berhamburan di jalan. Ada yang berjalan
kaki ada yang berkendara. Tapi rencana tinggal rencana. Hujan lebat
sekonyong-konyong tumpah dan membanjiiri Balai Pertemuan Umum. Padahal kami
berencana sesudah Festival digelar akan dilanjutkan dengan acara makan bersama
di dalam gedung pertemuan yang masih sementara diselesaikan pembangunannya.
Kurang lebih dua jam kami menunggu. Tempias air hujan yang ditiup angin barat
sempat membuat bulu roma kami berdiri. Terpantau semua insan memeluk raganya
sendiri dan menahan gigil. Asa para pemain Kabasaran dari Sanggar Tumondei
sempat ciut. Bahkan ada yang pulang tanpa ada pemberitahuan. Begitu hujan
sedikit meredah (meski gerimis masih mengguyur) aku menganjurkan para penari
untuk segera mengenakkan seragam yang serba merah itu. Aku laksana panglima perang
yang memberi perintah kepada prajurit untuk siap berperang meski badan hujan
menerjang. Semangat yang tadinya telah dibeku oleh dingin kini mencair kembali.
Dengan langkah panjang-panjang aku memimpin mereka menuju jalan utama dimana
acara hendak dilangsungkan. Acara pun dimulai setelah jalan lurus yang
membentang 200 meter ditutup. Tanpa ada formalitas. Kabasaran diundang
mengambil posisi. Terdengar ungkapan doa dipanjatkan oleh sang ma’bali-wali
(pemimpin) kabasaran setelah tiga kali mengelilingi para waraney. Masyarakat
pun kini berkerumun seperti mengincar gula. Awalnya yang kulihat sekitar 500-an
orang. Selanjutnya tak terhitung lagi. Tepuk tangan membahana ketika pemimpin
kabasaran mengucapkan instruksi terakhirnya, “Mareng an tampa!”.
Akhirnya
acara yang paling dinanti pun tiba. Festival Marantong. Tanpa banyak perintah
para pria baik tua maupun muda langsung membentuk dua barisan memanjang hingga mencapai
100 meter. Di kepala mereka telah terikat kain setangan kuning bertuliskan huruf
merah “Festival Marantong”. Sedangkan di tangan masing-masing telah tergengam
tiga ikat lidi yang tiap ikatnya berjumlah tiga. Bapak H.B. Sondakh selaku
tokoh masyarakat yang kini berusia 70 tahunan mengawali permainan dengan uraian
gamblang tentang arti penting permainan rakyat Marantong. Yang paling penting
yang saya tangkap adalah bahwa permainan rakyat tersebut mengandung nilai-nilai
luhur yang mesti dijaga seperti kedisiplinan kerja, waktu, dan tindak. Dimana
diharapkan generasi muda menjadi insan pekerja keras, tepat waktu, gemar
bekerja sama, sopan dalam tutur dan perbuatan. Sudah itu si pemimpin acara
Marantong dan rombongannya berjalan dua kali bolak balik tanpa dipukuli oleh
para peserta yang telah berbaris. Begitu bolak balik ketiga hendak di mulai
maka bertubi-tubi pukulan secara berganting mendarat di betis mereka. Lalu
secara manasuka mereka saling memukul satu sama lain selama kurang lebih 30
menit. Ada yang saling unjuk kejagoan dengan tanpa alas betis. Bahkan sedikit
melanggar aturan dengan memberikan keleluasaan untuk menentukan sasaran
pukulan, asal bukan pada wajah. Biasanya hanya sedikit orang yang maunya begitu.
Biasanya acara Marantong usai setelah lidi habis atau peserta sudah dilanda
kelelahan. Habis itu dilanjutkan dengan makan bersama. Menunya pun
jarang-jarang tersaji, ubi dan pisang rebus dipadukan dengan tuak atau saguer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar