Rabu, 19 Maret 2014

MARENG I LELE: FESTIVAL UNIK MINAHASA YANG MEMBUAT HEBOH Catatan awal Tahun



 oleh Iswan Sual




Berawal dari cirita mabo [1] lalu menjadi cerita heboh. Demikian pemerihan Festival “Marantong” Tondei Raya yang dihelat pada 1 Januari 2014 lalu. Peristiwa itu memang benar adanya. Ide penggelaran acara Festival “Marantong” ini dimulai dari obrolan beberapa orang (kesemuanya telah menikah) di sebuah warung di desa Tondei. Ide ini barangkali muncul dari kegelisahan mereka yang menyaksikan perayaan tahun baru yang tahun demi tahun kian kemoderen-moderenan, yang tak sedikit menyita banyak uang dan membenamkan identitas daerah. Rupanya orang-orang yang tengah bermiras itu masih memiliki kesadaran bahwa kita (tou Minahasa) terus digerus oleh kecenderungan tradisi modern yang semakin tak memberi ruang bagi budaya lokal untuk berkembang. Dan tradisi modern yang mahal dan kurang dipaham itu telah cukup membuat mereka muak. Maka keluarlah ide untuk menggelar suatu kegiatan yang menarik, menantang dan merupakan hasil daya cipta orang-orang lokal. Yang langsung terpikir adalah tradisi Marantong. Seingat mereka tradisi ini terakhir kali dilaksakan di ro’ong Tondei sekitar tahun 1990-an. Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Anggapan itu tak benar karena pada 2012 lalu bertepatan dengan HUT ro’ong Tondei ke-99 Sanggar Tumondei dideklarasikan berdirinya dan dalam acara itu digelar pula permainan rakyat yang disebut Marantong sebagai salah satu mata acara. Namun peserta yang menyaksikan kurang dari 200 orang. Barangkali itulah alasannya sehingga ada anggapan bahwa permainan rakyat itu baru digelar ulang pada 2014.
Sedikit keliru sebenarnya ketika kegiatan ini dilabeli Marantong. Karena yang sebenarnya permainan rakyat itu bernama Mareng i Lele. Nama permainan ini berasal dari kata bahasa Tontemboan yang berarti mengembalikan lidi.
Tradisi mareng I lele tidak bisa dipisahkan dengan tradisi Mapulus Ma’ando atau kerja sama membersihkan kebun atau merombak hutan untuk dijadikan perkebunan. Kelompok Mapulus memiliki undang-undang atau aturan-aturan yang dikreasi untuk membuat proses dan hasil Mapalus menguntungkan semua orang. Aturan tersebut menyangkut soal diantaranya sopan santun, ketepatan waktu dan mutu pekerjaan. Setiap pelanggaran diganjar dengan pukulan lidi pada bagian tubuh di bawah lutut. Jumlah pukulan lidi disesuaikan dengan jenis kesalahan. Kesalahan yang besar akan dihukum dengan lebih banyak pukulan lidi. Biasanya yang melaksanakan tugas (eksekutor) adalah seorang yang diberi gelar Marantong. Barangkali karang tokoh sentral dari permainan rakyat ini adalah si Marantong sendiri sehingga lambat laun nama permainan, yakni mareng I lele berganti menjadi Marantong.
            Tadinya Festival Marantong direncanakan pas setelah makan siang selesai. Sekitar jam 1 dan 2. Saat itu dirasa orang-orang telah banyak berhamburan di jalan. Ada yang berjalan kaki ada yang berkendara. Tapi rencana tinggal rencana. Hujan lebat sekonyong-konyong tumpah dan membanjiiri Balai Pertemuan Umum. Padahal kami berencana sesudah Festival digelar akan dilanjutkan dengan acara makan bersama di dalam gedung pertemuan yang masih sementara diselesaikan pembangunannya. Kurang lebih dua jam kami menunggu. Tempias air hujan yang ditiup angin barat sempat membuat bulu roma kami berdiri. Terpantau semua insan memeluk raganya sendiri dan menahan gigil. Asa para pemain Kabasaran dari Sanggar Tumondei sempat ciut. Bahkan ada yang pulang tanpa ada pemberitahuan. Begitu hujan sedikit meredah (meski gerimis masih mengguyur) aku menganjurkan para penari untuk segera mengenakkan seragam yang serba merah itu. Aku laksana panglima perang yang memberi perintah kepada prajurit untuk siap berperang meski badan hujan menerjang. Semangat yang tadinya telah dibeku oleh dingin kini mencair kembali. Dengan langkah panjang-panjang aku memimpin mereka menuju jalan utama dimana acara hendak dilangsungkan. Acara pun dimulai setelah jalan lurus yang membentang 200 meter ditutup. Tanpa ada formalitas. Kabasaran diundang mengambil posisi. Terdengar ungkapan doa dipanjatkan oleh sang ma’bali-wali (pemimpin) kabasaran setelah tiga kali mengelilingi para waraney. Masyarakat pun kini berkerumun seperti mengincar gula. Awalnya yang kulihat sekitar 500-an orang. Selanjutnya tak terhitung lagi. Tepuk tangan membahana ketika pemimpin kabasaran mengucapkan instruksi terakhirnya, “Mareng an tampa!”.
Akhirnya acara yang paling dinanti pun tiba. Festival Marantong. Tanpa banyak perintah para pria baik tua maupun muda langsung membentuk dua barisan memanjang hingga mencapai 100 meter. Di kepala mereka telah terikat kain setangan kuning bertuliskan huruf merah “Festival Marantong”. Sedangkan di tangan masing-masing telah tergengam tiga ikat lidi yang tiap ikatnya berjumlah tiga. Bapak H.B. Sondakh selaku tokoh masyarakat yang kini berusia 70 tahunan mengawali permainan dengan uraian gamblang tentang arti penting permainan rakyat Marantong. Yang paling penting yang saya tangkap adalah bahwa permainan rakyat tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang mesti dijaga seperti kedisiplinan kerja, waktu, dan tindak. Dimana diharapkan generasi muda menjadi insan pekerja keras, tepat waktu, gemar bekerja sama, sopan dalam tutur dan perbuatan. Sudah itu si pemimpin acara Marantong dan rombongannya berjalan dua kali bolak balik tanpa dipukuli oleh para peserta yang telah berbaris. Begitu bolak balik ketiga hendak di mulai maka bertubi-tubi pukulan secara berganting mendarat di betis mereka. Lalu secara manasuka mereka saling memukul satu sama lain selama kurang lebih 30 menit. Ada yang saling unjuk kejagoan dengan tanpa alas betis. Bahkan sedikit melanggar aturan dengan memberikan keleluasaan untuk menentukan sasaran pukulan, asal bukan pada wajah. Biasanya hanya sedikit orang yang maunya begitu. Biasanya acara Marantong usai setelah lidi habis atau peserta sudah dilanda kelelahan. Habis itu dilanjutkan dengan makan bersama. Menunya pun jarang-jarang tersaji, ubi dan pisang rebus dipadukan dengan tuak atau saguer.

                               


[1] Obrolan orang-orang yang sedang menegak miras di warung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar