|
Lambang Negara |
|
Bendera Minahasa |
Minahasa
Minahasa (dahulu disebut
Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi
Sulawesi Utara,
Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau
Sulawesi.
Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah
tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut.
Terdapat berbagai tumbuhan seperti
kelapa dan kebun-kebun
cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran.
Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung
Maleo,
Kuskus,
Babirusa,
Anoa dan Tangkasi (
Tarsius Spectrum).
|
Tarian Kawasara |
Etimology Minahasa
sebutan "Minahasa" sebenarnya berasal dari kata, Mina yang berarti
telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu, jadi
Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yang telah
bersatu. ketika peristiwa persatuan diadakan disebut "Mahasa" yang
berarti bersatu. Mahasa pertama diadakan di Watu Pinawetengan untuk
pembagian wilayah pemukiman, Mahasa kedua diadakan untuk melawan
ekspansi kerajaan bolaang-mongondow, Mahasa ketiga dilakukan untuk
menyelesaikan pertikaian antara Walak Kakaskasen yang berkedudukan
diLotta(kakaskasen, Lotta dan Tateli) dengan Bantik, yang kesemuanya
berasal dari satu garis keturunan Toar-Lumimuut.
Huruf
Tulisan kuno Minahasa disebut
Aksara Malesung terdapat di beberapa batu
prasasti di antaranya berada di
Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan
hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.
|
Aksara Malesung |
Lagu Kebangsaan: "Minahasa di Ujung Celebes Utara"
Minahasa di ujung Celebes Utara
Itu tanah asalku
Manado, Tonsea, Tondano, Kawangkoan
Ratahan, Amurang
Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara
Gunung di Minahasa
Pertemuan mata
Jangan kita lupa
Suatu tempat yang amat subur
Dan lagi tanah yang kaya
Di sana tinggal ibu dan bapa
Serta saudara dan sekalian teman
Minahasa tanah tumpah darahku
Itu ada buah hatiku
Sako mangemo nan tanah jao
Mangemo mi lei lek lako sayang
Minahasa di ujung Celebes Utara
Itu tanah asalku
Manado, Tonsea, Tondano, Kawangkoan
Ratahan, Amurang
Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara
Gunung di Minahasa
Pertemuan mata
Jangan kita lupa
Herman Jacob Wenas Lahir 17 June 1901
Pemerintahan
Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan
besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada
670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa
yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu
Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka,
yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap
musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang
mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah
anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang
Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku
Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan kerajaan dan
terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS
Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.
Minahasa
Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau
Maesa
yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk
menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari
Tontemboan,
Tombulu,
Tonsea, Tolour (
Tondano),
Tonsawang,
Ponosakan,
Pasan, dan
Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya
diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa
dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata
"minahasa" itu adalah
J.D. Schierstein,
Residen Manado, dalam laporannya kepada
Gubernur Maluku pada
8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai
Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Nama
Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "
Tonaas" di
Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama
Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen
J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik
Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "
Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi
Kabupaten Minahasa Utara,
Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi
Tondano,
Kakas,
Remboken,
Eris,
Lembean Timur dan
Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi
Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian
Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi
Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi
Tombatu dan
Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi
Belang), dan Pasan (meliputi
Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri
Maras,
Molas,
Bailang,
Talawaan Bantik,
Bengkol,
Buha,
Singkil,
Malalayang (Minanga),
Kalasey,
Tanamon dan
Somoit
(tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara).
Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang
berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata
tertentu misalnya kata
kawanua yang artinya sama asal kampung.
Asal Usul Orang Minahasa
Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali
dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang
Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah
daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku. [7]
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut
dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok:
Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan
Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi
segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka
bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini.
Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan
itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan
um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi
tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan
kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini
berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu
Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.
Kelompok-kelompok
Tonsea,
Tombulu,
Tontemboan
dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu,
Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di
luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari
sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten
masa kini.
Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena
berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan
mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu
disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini
adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang
dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini
merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay.
Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan
pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang
Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang
kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan
Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di
tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan
sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi
walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat
pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mongondow- dan
akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan
nenek moyang dari Bantik subethnic.
Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan,
Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa berperang melawan
Bolaang Mongondow.
Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Bolaang Mongondow
adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa
Lilang),
Gerungan,
Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi,
dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay). Dalam peperangan
sebelumnya, Tarumetor (Opo Retor) dari Remboken mengalahkan Ramokian
dari Bolaang Mongondow di Mangket.
Kependudukan
Kebanyakan penduduk Minahasa beragama
Kristen, dan juga merupakan salah satu suku-bangsa yang paling dekat hubungannya dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang
Eropa terjadi saat pedagang
Spanyol dan
Portugal
tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar
terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang
Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing
suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.
Taman Laut Bunaken
Di depan pantai kota
Manado berada pulau
Manado Tua dengan daerah selam yang sangat indah dimana pulau
Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.
Sejarah
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut, pada
awalnya para leluhur orang minahasa bermukim di sekitar pegununggan
Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan
berpindah ke Nietakkan (dekat tompaso baru).
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah
misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt.
T. Schwarz,
Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu
Lumimuut,
Toar dan
Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar
adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal
di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari
Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus.
Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke
beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) :
yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat
Prasasti Pinawetengan
Batu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso Barat. Merupakan batu
alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini
masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu ini merupakan tempat
diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak
Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut.
Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400
Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini
sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi
tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah
Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.
Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahan
Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu
mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu
itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas
Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).
Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui
musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan
negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu
prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut
Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500
Masehi.
Hasil riset
Dr. J.P.G. Riedel,
bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi
suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan
adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.
Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan
membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh
manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan
perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure
kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar
satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya
Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam
cerita tua Minahasa.
Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (
Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku
Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku
Toulour : menuju timur (atep) Anak suku
Tompekawa :
ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu
daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang
dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung
Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak
suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan
Bantik.
Pengembangan Suku {Pemekaran}
Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah
dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki
empat Pakasa’an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi Tontemboan,
Toumbulu', Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada
zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan
telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw dan telah lahir
pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano terdiri
dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari
walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta
Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Walak dan Pakasa'an Wilayah walak Toulour agak lain karena selain
meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour
yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah
walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di
Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut.
Menurut legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada
musyawarah di batu
Prasasti Pinawetengan.
Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu
abad ke-7 asal Telebusu (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal
Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol
berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk
berikrar agar tetap bersatu.
Dalam Buku Sejarah Lengkap Minahasa oleh
David DS Lumoindong
dijelaskan suku Tow Bantik adalah keturunan Toar-Lumimuut yang berdiam
menjaga perairan di wilayah utara di kepulauan Sangihe-Talaud, kemudian
terjadi bencana alam Tsunami maka merekapun mengungsi ke daratan
Sulawesi Utara di sekitar Bolaang-Mongondow, kemudian dimasa perang
Minahasa melawan Bolaang-Mongondow mereka menjadi pasukan
Bolaang-Mongondow menyerbu dan menduduki beberapa wilayah di Minahasa,
setelah selesai perang tahun 1690 an mereka memilih tetap tinggal di
Minahasa bergabung dengan suku bangsa perserikatan Minahasa.
Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan pada empat suku utama terdiri
atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun Tonaas : Orang keras,
yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi
kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat
Dalam Sejarah
Ratahan,
Pasan,
Ponosakan
dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan
ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut
Mandolang Benten (Bentenan) yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan
Manado.
Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman
raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu
Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah
“Pikot” di selatan Mandolang-
Bentenan
(Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian
mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman
menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri
Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang
Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena
dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan]
bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang”
(Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.
Tountumaratas (TonTemboan) Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka
Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk
menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah
PAKASA'AN yang beraasal dari kata ESA. PAKASAA'AN berarti satu yakni,
Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu istilah
Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua
di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak Kawangkoan
Tombasian, Rumoo'ong dan Sonder.
Tountewu Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua
kelompok yakni Tounsea dan Toundano. Kaum Tondano terbagi lagi menjadi
dua yakni: Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Tonsawang dan Tombatu
Masyarakat di sekitar danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano
Touliang, Tondano Toulimambot dan Kakas-Remboken. Dengan hilangnya
istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa'an Tonsea dan
Pakasa'an Tondano. Pakasa'an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni
maumbi, kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum
besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah maumbi, Likupang dan Kema di
perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak
mayor-mayor.
Toumbuluk Masyarakat tombuluk sejak zaman Batu Pinawetengan abad ke–7
tetap utuh satu Pakasa'an yang terdiri dari tiga walak yakni,
Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah WANUA
berkembang menjadi dua pengertian yaitu:
Kepala Pemerintahan
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di
TomBulu diantaranya :
Tonaas Wangko Muntu-Untu Tonaas Wangko Pinontoan-Lokon Tonaas Wangko
Ahkaimbanua Tonaas Wangko Pukul Tonaas Wangko Rares-empung Tonaas Wangko
Lumoindong, penguasa Tombulu semasa pusat pemerintahan masih di Kinilow
Tua, dimasanya terjadi bencana hebat tapi oleh kebijaksanaan maka
masyarakat dapat diselamatkan, itu sebabnya dimasa lalu sebuah gunung di
Tomohon dimana ia tinggal dinamakan sesuai dengan namanya.
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di
TonTemboan diantaranya :
Tonaas Wangko Kopero pemimpin musyawarah pertama di Pinawetengan (Tompaso)
Para raja yang pernah berkuasa di Ratahan diantaranya :
Dotu Lensang Alu, Dotu Soputan, kepala walak wilayah itu. Dotu
Watulumanap, Dotu Raliu abad 16 kepala walak kakak beradik Raliu dan
Potangkuman. Dotu Antou, Mayor Maringka, akhir abad 18. Mayor Soputan
Baca Buku : Sejarah Kerajaan dan Pemerintahan di Minahasa oleh David DS
Lumoindong
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di
TonSea diantaranya :
Tonaas Wangko Maramis Tonaas Wangko Dotulong dimasanya maka ia
membuat surat pengakuan negara Belanda atas kepemilikannya terhadap
pulau Lembeh.
Para kepala pemerintahan, Kepala Negara di
ToLour diantaranya :
Tonaas Wangko Singal Tonaas Wangko Gerungan (Dotu Gerungan, hidup
kurang lebih antara Tahun 1550-1650-an) adalah pemimpin Tondano, Bahasa
Minahasa Suku Toulour/Toudano/Tondano yaitu Walak (Kepala Suku) dan
Teterusan (Kepala Perang) Tondano pada masa hidupnya, dengan tujuan
menjaga wilayah suku Tondano dan menghalau para musuh yang menyerang.
Dotu Gerungan merupakan salah satu dari pahlawan-pahlawan atau panglima
perang Minahasa yang mengalakan musuh-musuh yang menyerang tanah
Minahasa
Era Kolonial
Pada akhir abad ke-16, Portugis dan Spanyol tiba di Sulawesi Utara. Saat bangsa Eropa datang,
Kesultanan Ternate
memiliki pengaruh di Sulawesi Utara, yang sering dikunjungi pedagang
Bugis dari Sulawesi Selatan. Kekayaan sumber daya alam Minahasa
menjadikan Manado sebagai pelabuhan strategis bagi pedagang-pedagang
Eropa yang akan menuju dan pulang dari Maluku.
Bangsa Spanyol telah menjajah
Kepulauan Filipina
pada waktu itu dan Minahasa dijadikan perkebunan kopi yang didatangkan
dari Amerika Selatan karena tanah Minahasa yang subur. Manado kemudian
lebih dikembangkan oleh Spanyol untuk menjadi pusat perdagangan kopi
bagi pedagang-pedagang Tiongkok. Dengan bantuan suku-suku Minahasa yang
menjadi sekutu, Spanyol merebut benteng Portugis di
Amurang
pada 1550-an, dan kolonis Spanyol kemudian membangun benteng di Manado,
sehingga akhirnya Spanyol menguasai seluruh Minahasa. Pada abad ke 16
salah satu komunitas
Indo-Eurasia pertama di Nusantara muncul di Manado. Raja pertama Manado, Muntu Untu (1630) sebenarnya merupakan keturunan setengah Spanyol.
Spanyol kemudian menyerahkan Minahasa kepada Portugis dengan ganti
350,000 ducat dalam sebuah perjanjian. Para penguasa Minahasa mengirim
Supit, Pa’at, dan Lontoh untuk bersekutu dengan Belanda untuk mengusir
bangsa Portugis dari Minahasa. Pada 1655 mereka akhirnya unggul,
membangun benteng mereka sendiri pada 1658 dan mengusir orang Portugis
terakhir beberapa tahun kemudian.
Pada awal abad ke-17 Belanda telah menumbangkan kesultanan Ternate,
dan mulai menutup pengaruh Spanyol dan Portugis di Nusantara. Pada 1677
Belanda menguasai
kepulauan Sangir
dan, dua tahun kemudian, Robert Padtbrugge, gubernur Maluku,
mengunjungi Manado. Kedatangannya menghasilkan perjanjian dengan para
kepala suku Minahasa yang berujung pada dominasi Belanda selama 300
tahun berikut meskipun pemerintahan langsung oleh Belanda hanya bermula
pada 1870.
Bangsa Belanda membantu mempersatukan konfederasi Minahasa, dan pada
1693, bangsa Minahasa memperoleh kemenangan militer mutlak melawan suku
Mongondow di selatan. Pengaruh Belanda bertumbuh subur seiring dengan
berkembangnya agama Kristen dan budaya Eropa di tanah Minahasa.
Sekolah-sekolah misionaris di Manado pada 1881 merupakan salah satu
upaya pertama pendidikan masal di Indonesia, memberikan kesempatan bagi
lulusannya memperoleh pekerjaan sebagai pegawai negeri, ketentaraan, dan
posisi tinggi lainnya dalam pemerintahan
Hindia Belanda.
Hubungan Minahasa dengan Belanda seringkali kurang baik. Terjadi perang antara Belanda dan
Tondano
pada 1807 dan 1809, dan wilayah Minahasa tak berada di bawah
pemerintahan langsung Belanda hingga 1870. Namun pada akhirnya Belanda
dan Minahasa menjadi sangat dekat hingga Minahasa seringkali disebut
sebagai provinsi ke-12 Belanda. Bahkan pada 1947, di Manado dibentuk
pergerakan politis Twapro, singkatan dari
Twaalfde Profincie (Provinsi Keduabelas) yang memohon integrasi Minahasa secara formal ke dalam Kerajaan Belanda.
[1]
Masa kemerdekaan
Pendudukan Jepang pada 1942-45 merupakan periode deprivasi, dan
pasukan sekutu membom Manado dengan hebat pada 1945. Selama periode masa
kemerdekaan setelah itu, ada perpecahan di antara orang-orang Minahasa
yang pro-Indonesia dan pro-Belanda. Penunjukkan
Sam Ratulangi sebagai gubernur Indonesia Timur pertama kemudian sukses memenangkan dukungan Minahasa terhadap Republik Indonesia.
Saat negara baru itu menghadapi krisis demi krisis, Monopoli kopra
oleh Jakarta sangat melemahkan ekonomi Minahasa. Seperti di Sumatra,
mulai timbul ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat di Minahasa karena
inefisiensi, pembangunan tak merata, dan uang yang hanya mengalir ke
Jawa.
Ekspor illegal bertumbuh subur pada 1956. Jakarta kemudian
memerintahkan penutupan pelabuhan Manado, pelabuhan penyelundup terbesar
di Indonesia pada waktu itu. Tak lama kemudian Permesta menghadapi
pemerintah pusat meminta reformasi ekonomi, politik, dan regional.
Jakarta menanggapi dengan membom Manado pada Februari 1958, kemudian
menginvasi Minahasa pada Juni 1958, tapi hanya bisa mengakhiri
pemberontakan Permesta pada 1961.
Permesta
Pada Maret 1957, para pemimpin militer Sulawesi Utara dan Selatan
mengadakan konfrontasi dengan Jawa, dengan tuntutan otonomi daerah yang
lebih besar. Mereka meminta pembangunan yang lebih aktif, pembagian
pajak yang lebih adil, bantuan menghadapi pemberontakan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan, dan kabinet pemerintah pusat yang dipimpin oleh
Sukarno dan
Hatta dengan seimbang. Pada mulanya pergerakan ‘
Permesta’ (Piagam Perjuangan Semesta Alam) hanyalah merupakan pergerakan reformasi daripada pergerakan separatis.
Negosiasi antara pemerintah pusat dan para pemimpin militer Sulawesi
mencegah kekerasan di Sulawesi Selatan, tapi para pemimpin Minahasa tak
puas dengan hasil perjanjian dan pergerakan tersebut pecah. Khawatir
dengan dominasi selatan, para pemimpin Minahasa mendeklarasikan negara
otonom Sulawesi Utara mereka sendiri pada Juni 1957. Pada saat itu
pemerintah pusat telah mengontrol Sulawesi Selatan, tapi di Utara tak
ada figur kuat pemerintah pusat dan ada rumor bahwa
Amerika Serikat, dikabarkan mempersenjatai pemberontakan di Sumatera Utara, juga memiliki hubungan dengan para pemimpin Minahasa.
Kemungkinan adanya intervensi luar negeri mendorong pemerintah pusat
meminta bantuan militer dari Sulawesi selatan. Pasukan Permesta kemudian
dikeluarkan dari Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sangir, dan Morotai di
Maluku. Pesawat-pesawat Permesta (disuplai oleh AS dan diterbangkan oleh
Pilot Filipina, Taiwan, dan Amerika) dihancurkan. AS kemudian berpindah
pihak, dan pada Juni 1958 tentara pemerintah pusat mendarat di
Minahasa. Pemberontakan Permesta berakhir pada pertengahan 1961.
Efek dari pemberontakan Sumatra dan Sulawesi pada akhirnya
meningkatkan apa yang ingin dilawan para pemberontak tersebut. Otoritas
pemerintahan pusat meningkat sedangkan otonomi daerah melemah,
nasionalisme radikal menguat dibandingkan moderasi pragmatis, kekuatan
partai komunis dan Sukarno meningkat sedangkan Hatta melemah, dan
Sukarno akhirnya menetapkan demokrasi terpimpin pada 1958.
Sejak reformasi 1998, pemerintah Indonesia mulai menetapan
undang-undang yang meningkatkan otonomi daerah, ide utama yang
diperjuangkan Permesta.